News  

ICW Nilai Program MBG Cacat Anggaran, Kebijakan Teknis, Pelaksanaan Hingga pengawasan

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pasalnya selama ini terkesan ada upaya untuk menutupi permasalahan yang terjadi dalam program tersebut.

“Menilai program MBG cacat dari sektor anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan. Selain itu, segala informasi mengenai program MBG tertutup untuk publik,” kata Peneliti ICW Bidang Akademi Antikorupsi, Dewi Anggraeni, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Minggu (9/3/2025).

Dewi mengatakan pihaknya sudah mencatat sejumlah permasalahan dalam program MBG yang diduga sengaja ditutupi oleh BGN.

Salah satunya adalah belum adanya kebijakan yang mengatur tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG secara komprehensif. ICW menilai produk kebijakan yang dihasilkan hanya mengakomodasi ambisi Prabowo.

Sejak diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 tentang pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator pelaksana program MBG, program ini langsung dijalankan dalam waktu empat bulan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam perjalanannya, terjadi pemotongan anggaran negara untuk membiayai MBG dan program presiden lainnya. Perencanaan yang terburu-buru, minim transparansi informasi, serta kurangnya pelibatan pemangku kepentingan dan publik, ditambah dengan larangan mempublikasikan program MBG, dinilai membuka peluang besar terjadinya korupsi.

“Hasil penelusuran ICW mengenai kebijakan MBG menyimpulkan, bahwa produk kebijakan yang dilahirkan hanya mengakomodir ambisi Prabowo agar MBG bisa berjalan di awal kepemimpinannya sejak tahun 2025,” ucap Dewi.

Selain itu, kata Dewi, perhitungan anggaran untuk MBG yang tidak matang berdampak pada pemangkasan anggaran di sektor pemerintahan lainnya.

Dia menjelaskan, penyisihan dan pengumpulan anggaran dimulai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Dua hari setelah Inpres tersebut diterbitkan, Kementerian Keuangan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tertanggal 24 Januari 2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025. Dalam lampiran surat edaran itu, disebutkan daftar 16 pos belanja yang dapat dipangkas.

Pengelolaan Anggaran BGN yang tak Transparan
Lebih lanjut, Dewi mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan menyebutkan anggaran yang dibutuhkan untuk program MBG sebesar Rp306,6 triliun, dengan Rp100 triliun yang dikumpulkan akan diberikan kepada BGN. Namun, Kepala BGN menyatakan bahwa program MBG hanya membutuhkan Rp1 triliun per bulan atau Rp12 triliun per tahun.

“Bagaimana penggunaan Rp82 triliun sisanya? ICW menduga bahwa anggaran ini akan dipakai untuk operasional BGN yang bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan untuk mencetak Sarjana Penggerak Pertumbuhan Indonesia (SPPI) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ditargetkan mencapai 5.000 SPPG. Mirisnya, di tengah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengurangan penggunaan fasilitas publik, SPPI diproyeksikan akan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) BGN,” jelasnya.

Terakhir, Dewi menyoroti mekanisme pengadaan MBG yang tidak transparan. Program ini membutuhkan bahan pangan, kemasan makanan, ahli gizi, juru masak, serta distributor untuk menyalurkan makanan kepada penerima manfaat.

Namun, menurutnya, masyarakat sulit mengakses informasi terkait pengadaan tersebut. ICW menelusuri data SPPG yang dipublikasikan di media dan menemukan bahwa hingga akhir Januari, baru terdapat 190 SPPG dari target BGN sebanyak 500-937 SPPG selama Januari-Februari 2025.

Penelusuran ICW juga menemukan bahwa beberapa SPPG menguasai lebih dari satu wilayah kecamatan, seperti di Provinsi Kepulauan Riau, dengan alamat dapur yang sama. Padahal, merujuk pada petunjuk teknis BGN, lokasi SPPG harus berada dalam radius 6 km atau memiliki waktu tempuh maksimal 30 menit ke penerima manfaat.

“Tertutupnya informasi pengadaan MBG ini berdampak pada kualitas makanan yang diterima penerima manfaat dan tidak terserapnya bahan pangan lokal. Selain itu, minimnya informasi latar belakang SPPG berpotensi tinggi menimbulkan konflik kepentingan dengan verifikator BGN, monopoli, bahkan persaingan usaha yang tidak sehat,” katanya.(Sumber)