Sejak terpilih sebagai Presiden Indonesia, Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam menjalankan pemerintahan, terutama dalam hal pemberantasan korupsi dan mengurangi dominasi oligarki dalam sistem politik dan ekonomi. Kedua kelompok ini memiliki kepentingan yang mendalam dalam mempertahankan status quo, sehingga upaya Prabowo untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan meningkatkan transparansi akan berhadapan dengan perlawanan sengit. Artikel ini akan menganalisis potensi serangan balasan dari koruptor dan oligarki terhadap Prabowo serta strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman tersebut.
Korupsi telah lama menjadi masalah sistemik di Indonesia. Koruptor, baik dari kalangan pejabat negara, aparat penegak hukum, maupun sektor swasta, telah membangun jaringan yang luas dan memiliki pengaruh besar dalam birokrasi pemerintahan. Mereka memanfaatkan kelemahan sistem hukum dan institusi negara untuk mempertahankan kepentingannya.
Jika Prabowo benar-benar berkomitmen untuk memberantas korupsi, maka para koruptor yang merasa terancam akan melakukan serangan balik dengan berbagai cara di antaranya: Pertama, menghambat reformasi kebijakan Koruptor yang berada di dalam sistem pemerintahan dapat memperlambat atau menghambat implementasi kebijakan anti-korupsi melalui birokrasi yang berbelit-belit. Kedua, membangun aliansi politik untuk melemahkan kekuasaan. Dengan memanfaatkan pengaruhnya, koruptor dapat bekerja sama dengan pihak oposisi atau bahkan elemen dalam pemerintahan yang tidak setuju dengan kebijakan Prabowo.
Ketiga, menciptakan isu dan kampanye negatif. Penggunaan media untuk membangun narasi bahwa Prabowo gagal dalam pemerintahannya, terlibat dalam nepotisme, atau tidak memiliki kebijakan yang efektif.
Keempat, menggunakan hukum sebagai senjata. Bisa jadi ada upaya menggiring opini bahwa Prabowo atau lingkaran dekatnya terlibat dalam skandal tertentu guna menjatuhkan reputasinya.
Selain koruptor, Prabowo juga berhadapan dengan oligarki—kelompok elit bisnis dan ekonomi yang memiliki pengaruh kuat dalam politik. Oligarki ini memiliki kepentingan besar dalam mempertahankan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, industri strategis, dan kebijakan pemerintah.
Jika Prabowo berupaya mengurangi dominasi oligarki dengan kebijakan yang lebih pro-rakyat, ada kemungkinan oligarki akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menggunakan media untuk mempengaruhi opini publik. Mayoritas media massa di Indonesia dikuasai oleh kelompok oligarki. Mereka dapat mengontrol narasi yang merugikan Prabowo dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahannya.
Kedua, menekan pemerintah melalui sektor ekonomi. Oligarki dapat memainkan harga komoditas penting, seperti bahan pangan dan energi, guna menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang berpotensi merusak citra pemerintahan Prabowo.
Ketiga, membangun jaringan politik alternatif. Jika merasa kepentingannya terganggu, oligarki bisa mulai mendukung figur politik lain untuk menjadi rival Prabowo, baik di dalam kabinet maupun dalam pemilu mendatang.
Keempat, menyusup ke dalam pemerintahan. Oligarki yang memiliki hubungan dekat dengan birokrat atau pejabat tinggi bisa berusaha mempengaruhi kebijakan dari dalam, membuat reformasi yang diinginkan Prabowo menjadi mandek atau bahkan gagal.
Potensi serangan balasan dari koruptor dan oligarki terhadap Prabowo adalah ancaman yang nyata dalam dinamika politik Indonesia. Kedua kelompok ini memiliki kepentingan besar dalam mempertahankan kontrol atas kebijakan negara dan sumber daya ekonomi. Jika Prabowo benar-benar ingin melakukan reformasi dan memberantas korupsi, ia harus siap menghadapi serangan balik yang sistematis dan terencana.
Keberhasilan Prabowo dalam menghadapi tantangan ini akan sangat bergantung pada seberapa kuat ia mampu membangun sistem pemerintahan yang bersih, transparan, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan strategi yang tepat, dukungan masyarakat, serta penguatan institusi negara, Prabowo memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan melawan korupsi dan oligarki yang telah lama mengakar di Indonesia.
Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik dan kader Muhammadiyah Kudus