Politikus PDIP Usul Hukuman Mati bagi Koruptor

Politikus PDIP Beathor Suryadi, mengusulkan agar hukuman mati diterapkan bagi para koruptor di Indonesia. Menurutnya, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat dan stabilitas negara.

“Hukuman mati bagi koruptor adalah langkah tegas yang perlu dipertimbangkan serius oleh pemerintah. Korupsi bukan sekadar pencurian uang negara, tetapi juga merampas hak-hak rakyat,” ujar Beathor Suryadi, kader PDIP yang dikenal dekat dengan almarhum Taufik Kiemas kepada Radar Aktual, Senin (24/3/2025).

Beathor menegaskan bahwa praktik korupsi telah mengakar dalam berbagai sektor, termasuk birokrasi dan dunia usaha. Ia menilai bahwa hukuman yang ada saat ini belum memberikan efek jera yang maksimal terhadap para pelaku korupsi. Oleh karena itu, ia mendorong adanya revisi dalam regulasi hukum yang memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor yang terbukti melakukan tindakan dengan dampak besar terhadap masyarakat.

Wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya bukan hal baru. Dalam beberapa kasus tertentu, aturan tersebut sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, penerapannya masih terbatas dan membutuhkan kajian mendalam.

“Kita perlu keberanian politik dan dukungan dari semua elemen bangsa untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya. Jika ada pejabat yang berani mengkhianati rakyat dengan korupsi, maka mereka harus siap menerima hukuman paling berat,” tambahnya.

Hukuman mati buat koruptor telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hingga kini belum ada satu pun kasus korupsi yang berujung pada vonis hukuman mati.

Beathor menjelaskan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor memang membuka ruang bagi hukuman mati, terutama dalam keadaan tertentu, seperti kondisi darurat nasional, krisis ekonomi, atau bencana alam. Namun, implementasi hukuman tersebut masih menjadi tanda tanya besar di tengah masyarakat.

“Hukuman mati memang ada dalam regulasi kita, tetapi hingga saat ini belum ada vonis yang menjatuhkan hukuman tersebut kepada koruptor. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah regulasi ini benar-benar bisa diterapkan atau hanya menjadi ancaman semata?” ujarnya.

Perdebatan mengenai hukuman mati bagi koruptor terus berkembang. Beberapa pihak mendukung penerapan hukuman mati dengan alasan dapat memberikan efek jera dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Namun, ada pula yang menilai bahwa sistem peradilan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, termasuk independensi lembaga peradilan dan potensi penyalahgunaan hukum untuk kepentingan politik.

“Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan rakyat secara luas. Jika memang ada dasar hukum untuk hukuman mati, maka seharusnya ada keberanian untuk menerapkannya dalam kasus-kasus besar yang memenuhi syarat sesuai peraturan,” tambahnya.