Presiden Prabowo Subianto saat ini menghadapi tantangan besar akibat kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump, yang sering disebut sebagai “Trump Effect.”
Sekretariat Fraksi Golkar DPR RI Mukhtarudin menegaskan memperkuat fondasi ekonomi nasional menjadi langkah krusial untuk menghadapi kebijakan Donald Trump, terutama dengan kebijakan proteksionisme seperti tarif resiprokal yang diberlakukan pada 5 April 2025.
Tarif yang mencapai 32% untuk Indonesia itu menekan daya saing ekspor, melemahkan rupiah, dan berpotensi memicu gejolak ekonomi.
“Jadi, memperkuat fondasi ekonomi nasional sangat penting karena menjadi dasar bagi stabilitas, pertumbuhan, dan kesejahteraan suatu negara,” tutur Mukhtarudin, Selasa (8/4/2025).
Politisi Dapil Kalteng ini menjelaskan fondasi ekonomi yang kuat itu mencakup sektor-sektor kunci seperti infrastruktur, industri, pertanian, pendidikan, dan keuangan yang saling mendukung.
Kata Mukhtarudin, pentingnya fondasi yang kokoh di sisi stabilitas makro ekonomi seperti cadangan devisa yang memadai, utang yang terkendali, dan inflasi yang stabil.
“Maka ini akan membantu negara kita menghadapi guncangan ekonomi global, seperti krisis keuangan atau fluktuasi harga komoditas,” beber Mukhtarudin.
Mukhtarudin berharap cadangan devisa yang kuat (US$154 miliar per Februari 2025) harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan guna untuk menahan volatilitas global. Artinya, kebijakan seperti penempatan devisa hasil ekspor di dalam negeri bisa diperluas lagi.
Sebagai contoh, negara-negara dengan fondasi ekonomi yang baik, seperti Singapura atau Jerman, mampu mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan meski di tengah tantangan global.
Di sisi lain, negara dengan fondasi lemah sering kali terjebak dalam ketergantungan pada bantuan luar atau sumber daya tunggal.
“Jadi saya kira memperkuat fondasi ekonomi nasional bukan cuma soal angka-angka, tapi juga tentang membangun ketahanan dan harapan bagi seluruh rakyat,” ujar Mukhtarudin.
Muktarudin juga mendukung langkah Presiden Prabowo yang berjanji akan mencari jalan keluar bersama dengan mencari pasar baru akibat kebijakan tarif impor dari Amerika ke Indonesia mencapai 32% tersebut.
Menurut Mukhtarudin, diversifikasi pasar ekspor, kurangi ketergantungan pada AS dengan memperluas pasar ke negara-negara BRICS, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
Keanggotaan Indonesia di BRICS, lanjut Mukhtarudin, bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawar dan membuka peluang dagang baru, mengimbangi dampak tarif Trump.
Meski begitu, Anggota Komisi XII DPR RI ini bilang tantangannya tidak kecil. Negosiasi dengan AS dianggap sulit karena sikap keras Trump, sementara upaya mencari pasar baru membutuhkan waktu dan reformasi struktural, seperti perbaikan iklim investasi dan birokrasi.
“Ya, kebijakan Trump meski menantang, tapi bisa jadi momentum. Dengan fondasi ekonomi yang tangguh dibangun dari stabilitas, kemandirian, dan daya saing Indonesia tidak hanya bertahan, tapi juga bisa mengubah tekanan menjadi peluang transformasi,” pungkas Mukhtarudin.
Diketahui, Presiden Prabowo sendiri mengakui bahwa industri padat karya akan terpukul keras, tetapi ia tetap optimistis bahwa Indonesia bisa bertahan dengan kekuatan fundamental ekonominya, seperti utang dan inflasi yang relatif rendah dibandingkan negara lain.
Untuk menghadapi situasi ini, Prabowo telah menunjukkan pendekatan dua jalur diplomasi dan penguatan ekonomi dalam negeri.
Secara diplomatik, Presiddn telah menugaskan tim negosiasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menlu Sugiono, dan Menkeu Sri Mulyani untuk berunding dengan AS guna mencari keringanan tarif.
Prabowo juga berkoordinasi dengan pemimpin ASEAN, seperti PM Malaysia Anwar Ibrahim, untuk menyusun respons regional yang terpadu.
Di sisi domestik, strategi Prabowo meliputi hilirisasi sumber daya alam, kebijakan wajib simpan devisa ekspor di perbankan nasional, dan diversifikasi pasar ekspor ke negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
Namun, Prabowo menekankan pentingnya kemandirian ekonomi, mengingatkan bahwa “Tidak ada yang akan membantu kita kecuali diri kita sendiri.”
Dengan pendekatan ini, Prabowo pun berupaya menjadikan “Trump Effect” sebagai peluang untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, meskipun dampak jangka pendek tetap menjadi ujian berat bagi pemerintahannya. (Sumber)