Reliji  

Lebih Baik Menasihati Diri Sendiri Sebelum Menasihati Orang Lain

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat orang lain melakukan kesalahan dan merasa terdorong untuk segera menasihati mereka. Namun, sebelum memberikan nasihat kepada orang lain, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu menasihati diri sendiri.

Mengapa ini penting? Karena menasihati diri sendiri adalah langkah awal menuju kejujuran, ketulusan, dan integritas dalam menyampaikan nasihat kepada orang lain.

Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Latha’iful Ma’arif (2000: 17-19) menekankan pentingnya introspeksi diri sebelum menasihati orang lain. Dalam kitab tersebut, beliau mengutip berbagai kisah dan ungkapan yang mengajarkan betapa pentingnya memperbaiki diri terlebih dahulu. Salah satu ungkapan yang terkenal adalah:

العَالِمُ الَّذِي لَا يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ كَمِثْلِ الْمِصْبَاحِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ.

“Ilmu yang tidak diamalkan oleh pemiliknya adalah seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri.”

Kisah lain yang diceritakan oleh Ibnu Rajab adalah tentang seorang wanita saleh yang menegur seorang alim yang memberikan nasihat tanpa memperbaiki dirinya sendiri. Wanita tersebut berkata:

يَا وَاعِظًا قَامَ لِاحْتِسَابٍ … يَزْجُرُ قَوْمًا عَنِ الذُّنُوبِ

تَنْهَى وَأَنْتَ الْمُرِيبُ حَقًّا … هَذَا مِنَ الْمُنْكَرِ الْعَجِيبِ

“Wahai penasehat yang berdiri untuk menghitung dosa, melarang suatu kaum dari dosa. Engkau melarang sedangkan engkau sendiri penuh dengan keraguan, ini adalah keajaiban dari kemungkaran yang luar biasa.”

Di era digital saat ini, introspeksi diri menjadi semakin penting. Banyak orang aktif di media sosial, memberikan nasihat dan kritik kepada orang lain, tetapi terkadang lupa untuk bercermin dan mengevaluasi diri sendiri.

Sebelum menasihati orang lain, kita sebaiknya memastikan bahwa kita telah berusaha menerapkan nasihat tersebut dalam kehidupan kita sendiri. Dengan begitu, nasihat yang diberikan tidak hanya sekadar kata-kata, tetapi juga mencerminkan ketulusan dan integritas pribadi.

Kehidupan Buya Hamka
Salah satu contoh inspiratif dalam hal ini adalah kisah Buya Hamka. Dalam buku Kenang-kenangan dari Penjara Rezim Orde Lama karya H.M. Yunan Nasution, ia mengenang pengalaman pahit Hamka saat menjalani hukuman di balik jeruji besi pada masa Orde Lama. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967 dan dicetak ulang pada tahun 2013.

Di penjara RTM, terdapat sebuah ruangan besar yang difungsikan sebagai tempat ibadah bagi para tahanan. Ruangan ini digunakan untuk shalat berjamaah, khususnya shalat Maghrib, Isya, dan Subuh. Selain itu, shalat Jumat juga dilaksanakan di tempat ini. Sesekali, guru-guru agama dari Pusat Rohani (Pusroh) TNI Angkatan Darat datang untuk memberikan ceramah dan bimbingan rohani kepada para tahanan.

Tidak hanya itu, peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Fitri, dan Idul Adha juga dirayakan di dalam penjara. Acara peringatan biasanya diselenggarakan di lapangan tenis, dengan menghadirkan penceramah, imam, dan khatib dari Pusroh TNI-AD.

Pada peringatan Maulid Nabi tahun 1962, Pusroh TNI-AD mengundang seorang mubaligh ternama yang sangat dikenal oleh Yunan, yaitu Buya Hamka. Ketika diminta untuk mengisi ceramah dalam acara tersebut, Hamka langsung menerima tanpa ragu sedikit pun. Baginya, ini adalah kesempatan berharga.

Dalam ceramahnya, Hamka membawakan kisah perjuangan Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar yang harus mendekam di penjara selama lebih dari tujuh tahun karena mempertahankan keyakinannya. Meski dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak berhenti berkarya—ia terus menulis dan menuangkan pemikirannya. Ketika akhirnya bebas, banyak karyanya yang diterbitkan dan menjadi rujukan penting dalam keilmuan Islam.

Setelah acara peringatan Maulid Nabi malam itu selesai, Yunan dan teman-teman sesama tahanan RTM mengantar Hamka hingga ke pintu depan penjara.

Sambil berkelakar, Yunan berkata kepada Hamka, yang merupakan kawannya sejak lama dalam mengasuh majalah “Pedoman Masjarakat” di tahun 1930-an, “Di sini sajalah bermalam, Bung Hamka.” Hamka menjawab sambil tersenyum, “Lain kali sajalah.”

Tak ada yang menyangka, termasuk Buya Hamka sendiri, bahwa setahun setelah acara tersebut, ia akan mengalami nasib serupa. Pada masa pemerintahan Sukarno, ia ditangkap dan ditahan selama hampir tiga tahun atas tuduhan yang didasarkan pada fitnah.

Ironisnya, kisah tentang Ibnu Taimiyah yang ia sampaikan dalam ceramahnya ternyata menjadi kenyataan dalam hidupnya sendiri. Seperti ulama besar tersebut, Hamka tetap produktif meskipun berada dalam tahanan. Di balik jeruji besi, ia menulis karya besarnya, Tafsir Al-Azhar, sebuah tafsir Al-Qur’an yang hingga kini menjadi salah satu rujukan utama dalam kajian Islam di Indonesia.

Kisah ini tidak hanya menggambarkan ketabahan dan kesabaran seorang ulama dalam menghadapi ujian hidup, tetapi juga menunjukkan bagaimana seorang alim sejati tetap berkontribusi bagi umat meskipun dalam kondisi yang sulit. Dari pengalaman ini, kita bisa mengambil pelajaran berharga bahwa cobaan dan kesulitan tidak seharusnya menghentikan seseorang untuk terus berkarya dan berbuat baik.

Dari pemikiran Ibnu Rajab Al-Hanbali serta perjalanan hidup Buya Hamka, ada lima pelajaran penting yang bisa diambil bagi siapa saja yang ingin memberikan nasihat kepada orang lain:

Integritas dalam Menasihati

Sebelum memberikan nasihat kepada orang lain, kita harus memastikan bahwa kita sendiri telah berusaha menjalankannya. Kejujuran dan ketulusan dalam berperilaku menjadi dasar untuk menjadi contoh yang baik.

Introspeksi Diri

Merenungkan dan memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum menasihati orang lain akan membuat nasihat kita lebih bermakna dan relevan. Seperti yang dicontohkan oleh Buya Hamka, introspeksi diri juga membantu kita menghadapi ujian dengan lebih bijak.

Empati dan Dukungan

Dalam memberikan nasihat, penting untuk menunjukkan empati dan kepedulian kepada mereka yang sedang mengalami kesulitan. Seperti dalam konteks perjuangan rakyat Palestina, kepedulian dan dukungan nyata menunjukkan bahwa kita benar-benar peduli terhadap sesama.

Keteladanan dalam Tindakan

Menasihati bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang tindakan nyata. Buya Hamka memberikan teladan bagaimana menjalankan nilai-nilai yang ia ajarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pentingnya Pendidikan dan Pengajaran

Memberikan nasihat yang baik harus didukung dengan pemahaman yang mendalam serta penerapan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, nasihat yang kita sampaikan akan lebih efektif dan berpengaruh dalam kehidupan orang lain.

Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik serta memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Menasihati diri sendiri sebelum menasihati orang lain adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih baik, baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitar.