Reliji  

Begitu Mulia Kedudukan Wanita Dalam Naungan Islam

Dalam Islam, wanita memiliki kedudukan yang sama dengan pria sebagai hamba Allah SWT. Islam memuliakan wanita, dan satu-satunya hal yang membedakan manusia di sisi Allah adalah ketakwaannya.

Baik pria maupun wanita akan mendapatkan pahala atas setiap kebaikan yang mereka lakukan, sekecil apa pun itu, begitu pula dengan dosa. Oleh karena itu, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk berlomba dalam kebaikan.

Tanggung jawab dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran juga berlaku bagi pria dan wanita. Namun, Islam membedakan peran masing-masing sesuai dengan fitrah yang telah diberikan oleh Allah.

Sejak awal penciptaan, manusia diciptakan dalam dua jenis, pria dan wanita, dengan keunikan masing-masing. Perbedaan ini mengandung makna dan tujuan tertentu sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan oleh Allah.

Salah satu peran utama wanita adalah sebagai ibu yang melahirkan generasi, sementara pria memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dan pelindung keluarga. Peran keibuan seorang wanita dimulai sejak mengandung, melahirkan, menyusui, hingga mendidik anak-anaknya, sesuatu yang tidak dapat digantikan oleh pria.

Ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kepribadian seorang anak yang terbentuk hingga dewasa merupakan hasil dari bimbingan, ketekunan, dan kasih sayang seorang ibu. Berkat peran besar inilah, lahir generasi-generasi berkualitas yang bermanfaat bagi bangsa dan agama.

Selain itu, wanita juga memiliki tanggung jawab dalam mengelola rumah tangga agar tetap menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga. Bukankah peran ini merupakan tugas yang sangat mulia dan penuh tanggung jawab?

Tidak, amanah ini memang tidak ringan, namun sangat mulia dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.“ (HR: Bukhari)

Oleh karena itu, Allah memberikan tugas kepemimpinan, pencarian nafkah, dan perlindungan kepada pria. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan peran antara pria dan wanita dalam keluarga bukanlah bentuk penindasan terhadap perempuan, seperti yang sering disalahpahami oleh sebagian kaum feminis. Sebaliknya, pembagian peran ini merupakan bentuk keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah masing-masing.

Jika ada anggapan seperti itu, maka pria pun bisa protes, “Kenapa saya harus memberi nafkah? Saya yang capek bekerja, membanting tulang siang-malam, berarti apa yang saya dapat adalah milik saya dan saya bebas menggunakannya sesuai keinginan saya.”

Apabila ini terjadi, maka hancurlah bangunan keluarga. Karena itu gagasan yang diusung para feminis (konsep dari Barat), yakni menghendaki agar kaum wanita sama dengan pria (gender equality).

Sebagian pihak berpendapat bahwa wanita harus dibebaskan dari diskriminasi serta dari beban-beban yang dianggap menghambat kemandirian, bahkan jika itu berarti mereduksi nilai-nilai budaya dan agama. Peran alami wanita sebagai ibu—termasuk hamil, menyusui, mendidik anak, dan mengurus rumah tangga—disebut sebagai hambatan yang harus dihilangkan.

Akibatnya, banyak wanita yang meninggalkan kodratnya demi menyetarakan diri dengan pria. Namun, ketika mereka memasuki ranah publik, yang terjadi justru eksploitasi besar-besaran. Dalam sistem kapitalis yang mengutamakan materi, wanita sering dijadikan objek ekonomi, baik secara sadar maupun tidak. Profesi seperti model, sales promotion girl, bintang iklan, hingga pelobi hampir selalu melibatkan wanita sebagai daya tarik utama.

Fenomena seperti gerakan childfree, keengganan menikah, dan keengganan memiliki anak semakin marak. Banyak wanita yang lebih memilih kesibukan di ruang publik dan secara tidak sadar menjadi alat dalam sistem ekonomi kapitalisme, bahkan hanya sekadar “pemikat” untuk menarik keuntungan materi.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, tubuh wanita dijadikan komoditas. Aurat dipertontonkan, bahkan adegan-adegan yang melanggar moral pun dilakukan asalkan menghasilkan keuntungan finansial. Keindahan fisik wanita diperjualbelikan dan dijadikan ajang perlombaan, seolah-olah nilai seorang wanita diukur dari seberapa besar daya tariknya di mata industri. Ironisnya, banyak wanita yang secara sadar ikut serta dalam eksploitasi ini, bahkan semakin hari semakin masif.

Kondisi ini dapat dilihat di beberapa negara seperti di Barat, Jepang, Korea, dan China, di mana angka kelahiran semakin menurun drastis. Banyak wanita muda enggan menikah, apalagi memiliki anak. Ditambah dengan semakin diterimanya praktik LGBT di masyarakat mereka, bukan tidak mungkin mereka akan menghadapi krisis generasi di masa depan.

Islam Memanjakan Wanita
Islam sebagai pedoman hidup telah menetapkan aturan bagi pria dan wanita dalam menjalani kehidupan. Yang perlu dipahami adalah bahwa dalam beberapa aspek aturan tersebut berlaku sama, sementara dalam aspek lain ada perbedaan yang disesuaikan dengan fitrah masing-masing.

Dalam hal ibadah seperti sholat, zakat, puasa, dan haji, baik pria maupun wanita memiliki kewajiban yang sama. Demikian pula dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, shadaqah, serta menuntut ilmu, semua diperintahkan tanpa membedakan gender. Namun, ada aturan yang berbeda yang berkaitan dengan perbedaan alami antara pria dan wanita.

Sejak awal penciptaan, bentuk fisik pria dan wanita sudah berbeda, yang kemudian berpengaruh pada peran masing-masing. Tugas seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak diberikan kepada wanita, sementara pria tidak dibebani tanggung jawab tersebut.

Namun, perbedaan ini tidak boleh dipandang sebagai isu kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Sebaliknya, ini adalah bentuk pembagian tugas yang seimbang, di mana masing-masing memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan meraih kebahagiaan sejati di bawah ridha Allah SWT.

Salah satu kunci utama dalam mencetak generasi yang lebih baik adalah dengan memberi peran utama kepada wanita dalam mendidik anak di lingkungan rumah, kecuali jika ada alasan yang benar-benar mengharuskannya untuk beraktivitas di luar rumah.

عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جِئْنَ النِّسَاءُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِالْفَضْلِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَمَا لَنَا عَمَلٌ نُدْرِكُ بِهِ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ قَعَدَ -أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا -مِنْكُنَّ فِي بَيْتِهَا فَإِنَّهَا تُدْرِكُ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ”.

“Anas bin Malik bercerita bahwa kaum wanita mendatangi Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan jihad fisabilillah, lalu bagaimana kami mendapatkan nilai jihad fisabilillah?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa di antara kalian yang berdiam di rumahnya – atau yang seperti itu- maka itu setara dengan amalnya para mujahidin fisabilillah.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/409).

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama.” (QS: Al Ahzab: 33).

Islam telah memberikan keistimewaan bagi para istri dengan menempatkan mereka sebagai pilar utama dalam rumah tangga. Keringat yang mereka curahkan dalam mengurus keluarga dinilai setara dengan perjuangan seorang mujahid di medan perang. Begitulah Islam memuliakan wanita dengan memberikan peran yang sesuai dengan fitrahnya.

Konsep penghormatan terhadap wanita ini tidak ditemukan dalam ideologi Barat maupun pemikiran feminis. Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha mengubah atau menggoyahkan nilai-nilai mulia ini. Namun, penting untuk dicatat bahwa penghormatan Islam terhadap wanita tidak berarti mereka harus menutup diri dari kehidupan sosial. Jika kondisi masyarakat jauh dari nilai-nilai Islam, wanita tetap memiliki peran dalam dakwah dan perbaikan masyarakat, tentu tanpa mengabaikan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Keluar rumah bagi seorang wanita seharusnya bukan semata untuk mengejar status atau materi, seperti tren yang berkembang saat ini. Dalam menghadapi tantangan ekonomi yang sulit, kesejahteraan wanita tidak harus diperjuangkan sendiri oleh wanita, tetapi juga menjadi tanggung jawab pria. Sebab, kebijakan yang benar dalam mewujudkan kesejahteraan tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh sistem berpikir yang digunakan dalam pengambilan keputusan—apakah berdasarkan kapitalisme, sosialisme, atau Islam.

Mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan akan otomatis menciptakan kesejahteraan bagi wanita. Oleh karena itu, perjuangan wanita sebaiknya difokuskan pada kesejahteraan bersama, bukan hanya terbatas pada kepentingan kelompoknya saja. Islam tidak melarang wanita untuk berprestasi dalam politik, hukum, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, masalah yang dihadapi oleh kaum wanita—bahkan seluruh umat manusia—hanya dapat diselesaikan dengan aturan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Aturan itu bukan buatan manusia, melainkan berasal dari Sang Pencipta yang menciptakan manusia, alam, dan kehidupan ini, yaitu Islam. Wallahu a’lam.