Reliji  

Bolehkah Muslimah Periksa Kandungan ke Dokter Pria?

Sobat Cahaya Islam, di zaman sekarang, kebutuhan akan layanan medis spesialis membuat banyak perempuan harus memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan (obgyn). Namun, sebagian dari mereka menghadapi kenyataan bahwa dokter yang tersedia adalah laki-laki. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana hukumnya dalam Islam? Mari kita bahas secara adil dan berdasar dalil.

Menjaga Aurat Adalah Kewajiban

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga aurat, terutama antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Aurat perempuan terhadap laki-laki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, menurut mayoritas ulama.

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (1)

Lalu, bagaimana jika kasusnya adalah membiarkan dokter pria melihat aurat perempuan karena keperluan tertentu seperti pemeriksaan kandungan, atau bahkan proses melahirkan?  Memang, membuka aurat kepada dokter pria yang bukan mahram bukan hal ringan. Namun, dalam keadaan darurat atau tidak adanya dokter perempuan, hukum bisa berubah.

Artinya, selama masih ada dokter kandungan perempuan, hendaknya dia yang bertindak membantu pemeriksaan kandungan atau persalinan. Lain halnya jika memang solusi yang memungkinkan hanyalah menggunakan jasa dokter kandungan pria. Maka dalam hal ini, hukumnya menjadi boleh.

Hukum Periksa Kandungan ke Dokter Pria dan Batasannya

Para ulama membolehkan perempuan memeriksakan diri ke dokter pria dalam keadaan darurat, yaitu ketika tidak tersedia dokter perempuan yang kompeten, atau dalam kondisi gawat darurat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (2)

Begitu pula kaidah fiqih menyebutkan:

الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.”

Namun, tetap harus memperhatikan adab-adabnya:

  • Hanya bagian tubuh yang perlu saja yang boleh dibuka.
  • Didampingi mahram atau perempuan lain saat pemeriksaan.
  • Tidak berduaan (khalwat) dengan dokter pria.
  • Menghindari bercanda atau berbicara yang tidak perlu.

Jika semua adab ini dijaga, maka hukum memeriksakan kandungan ke dokter pria menjadi mubah (boleh) karena kebutuhan, dan tidak berdosa.

Mendahulukan Dokter Perempuan Lebih Utama

Sobat Cahaya Islam, dalam kondisi normal dan pilihan tersedia, hendaknya perempuan hamil memilih dokter kandungan perempuan. Ini adalah bentuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam menjaga kehormatan dan syariat.

Imam Nawawi رحمه الله berkata:

وَإِذَا تَسَاوَى الطَّبِيبَانِ فِي الْكِفَايَةِ وَكَانَ أَحَدُهُمَا غَيْرَ ذِي مَحْرَمٍ، وَالآخَرُ مَحْرَمًا، فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ الْمَحْرَمُ أَوِ الْمُوَافِقُ فِي الْجِنْسِ

“Jika dua dokter sama dalam keahlian, dan salah satunya bukan mahram sementara yang lain mahram atau sejenis (dalam hal jenis kelamin), maka yang mahram atau yang sejenis didahulukan.” (3)

Dengan menjaga batasan-batasan syariat, kita bisa tetap mendapatkan perawatan medis tanpa mengabaikan nilai-nilai Islam. Jangan karena alasan modernitas, kita mengabaikan adab dan aurat yang sangat dijaga dalam agama.