Reliji  

Islam Memuliakan Umatnya Yang Kerja Keras Cari Nafkah Untuk Keluarganya

Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi. Kemuliaan manusia tidak hanya terletak pada penciptaannya, tetapi juga pada sejauh mana ia memberi manfaat bagi sesama. Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (Riwayat Bukhari).

Hadis ini menegaskan bahwa kemuliaan seseorang dapat diukur dari sejauh mana ia memberikan manfaat bagi orang lain. Semakin besar manfaat yang ia berikan, semakin tinggi pula kemuliaannya. Sebaliknya, derajat kemuliaan seseorang akan menurun jika ia tidak memiliki nilai manfaat atau bahkan menjadi beban bagi orang lain.

Islam mengajarkan pentingnya bekerja agar setiap Muslim bisa menghidupi dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Dalam sebuah kisah, Rasulullah ﷺ pernah melihat tangan seorang sahabat, Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari, yang melepuh karena kerja kerasnya. Ketika ditanya penyebabnya, Sa’ad menjawab bahwa itu akibat usahanya dalam mencari nafkah untuk keluarganya.

Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah ﷺ spontan meraih tangan Sa’ad dan menciumnya, sebagai bentuk penghormatan atas kerja kerasnya. Ini menunjukkan bahwa bekerja adalah sesuatu yang mulia, terutama jika hasilnya digunakan untuk menghidupi keluarga.

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar aktivitas duniawi, tetapi juga ibadah yang bernilai pahala. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk dalam kategori fardhu (kewajiban). Dalam kaidah fiqh, menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan meninggalkannya dapat mengakibatkan dosa.

Maka, mari kita jadikan pekerjaan sebagai ladang ibadah, dengan niat yang ikhlas dan usaha yang sungguh-sungguh, agar hidup kita lebih berkah dan bermakna.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Rasulullah ﷺ sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri sebagaimana yang dilakukan terhadap Sa’ad.

Diampuni Dosanya
Hadis ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai usaha seseorang dalam mencari nafkah. Bahkan, orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.

Dalam ajaran Islam, bekerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga bentuk ibadah. Allah mencintai hamba-Nya yang gigih berusaha dan tidak bergantung kepada orang lain. Oleh karena itu, Islam memberikan apresiasi tinggi kepada mereka yang bekerja keras dengan halal, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya.

Maka, mari kita jadikan setiap usaha kita dalam mencari nafkah sebagai bagian dari ibadah dan jihad di jalan Allah. Dengan niat yang benar dan cara yang halal, pekerjaan kita tidak hanya bernilai dunia, tetapi juga bernilai akhirat.Rasulullah ﷺ pernah bersabda;

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Dawud ‘alaihissalam dahulu memakan makanan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072).

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR: Ibnu Majah).

Bahkan ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, Allah mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ اَمْسَى كَالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ

“Barangsiapa yang pada waktu sore (malam hari) merasa lelah karena pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) pada saat itu diampuni dosa baginya.” (HR Thabrani)

Dengan bekerja, seseorang tidak akan tergantung kepada orang lain. Bahkan banyak orang yang bekerja keras kemudian bisa membantu orang lainnya.

Orang seperti ini berarti mengamalkan sabda Rasulullah ﷺ, “Tangan yang di atas, itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Nabi Muhammad ﷺ dan para Sahabat dikenal sebagai sosok yang gigih dalam bekerja. Beberapa di antara mereka bahkan merupakan saudagar kaya yang dengan penuh keikhlasan mengorbankan hartanya untuk mendukung pasukan Islam dalam menghadapi musuh.

Dalam ajaran Islam, mencari nafkah dipandang sebagai bentuk ibadah sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah! Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS: Saba’ [34]: 13)

Sebaliknya, seseorang yang tidak bekerja atau menganggur tidak hanya kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, tetapi juga di mata orang lain. Kehilangan harkat dan harga diri ini dapat menyeret seseorang ke dalam perbuatan yang tidak terpuji.

Mengemis merupakan tindakan yang dianggap hina, baik di hadapan manusia maupun di sisi Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Rasulullah ﷺ bersabda:

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR: Bukhari).

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi ﷺ

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

“Salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian membawa satu ikat kayu bakar yang dibawa di atas punggungnya kemudian dia jual, yang dengannya Allah cukupkan dia dari meminta-minta maka itu lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, bisa jadi mereka memberi atau tidak.” (HR: Bukhari).

Islam mengajarkan umatnya untuk bekerja agar terhindar dari kemiskinan, karena kemiskinan dapat membawa seseorang mendekati kekufuran.