Salah satu adat tradisi Jawa bernama Gowok banyak diperbincangkan baru-baru ini berkat film dengan judul sama yang sedang dipromosikan belakangan.
Film “Gowok Kamasutra Jawa” yang dijadwalkan tayang pada 5 Juni 2025 tengah menjadi perbincangan hangat.
Diperankan oleh aktor papan atas Reza Rahadian dan aktris berbakat Raihaanun, film ini mengangkat kisah unik dari budaya Jawa yang telah lama terlupakan: tradisi gowok.
Dengan latar belakang tahun 1950-an hingga 1960-an, film ini membawa penonton menyelami dunia pergowokan, sebuah praktik kuno dalam mendidik calon pengantin pria.
Tradisi gowok, meski kini dianggap kontroversial, pada masa lalu merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di daerah Banyumas.
Dalam praktiknya, seorang gowok adalah perempuan dewasa, umumnya berusia antara 23 hingga 30 tahun, yang bertugas membimbing remaja laki-laki menjelang pernikahan. Tugas mereka bukan hanya mengajarkan soal hubungan suami istri, tetapi juga nilai-nilai rumah tangga dan tata krama sosial.
Sejarah gowok sendiri berakar dari cerita rakyat dan catatan budaya sejak abad ke-15. Salah satu asal-usul yang dipercaya adalah sosok Goo Wok Niang, perempuan dari Tiongkok yang datang bersama rombongan Laksamana Cheng Ho.
Seiring waktu, tradisi ini berkembang sebagai bentuk pendidikan seks dan persiapan rumah tangga bagi pemuda Jawa.
Seorang gowok dipilih berdasarkan kriteria ketat: berpengalaman, sabar, memiliki pemahaman mendalam tentang rumah tangga, serta paras yang menarik.
Dalam novel klasik seperti “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, dan “Gowok” (1936) oleh Liem Khing Hoo serta “Nyai Gowok” (2014) karya Budi Sardjono, gambaran tentang tradisi ini turut ditampilkan.
Penulis dan peneliti budaya Dyah Siti Septiningsih dalam jurnal ilmiahnya juga membahas pergowokan sebagai bentuk pendidikan seksual yang berbeda dari prostitusi.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa setelah lamaran disetujui, keluarga calon pengantin laki-laki dan perempuan akan bersama-sama memilih gowok yang akan membimbing si calon mempelai.
Dalam prosesnya, pemuda akan tinggal bersama sang gowok di satu rumah, namun dengan dapur terpisah.
Pengaturan ini menciptakan suasana yang menyerupai rumah tangga, tempat si pemuda belajar bagaimana memperlakukan istri, mengelola keuangan rumah, bahkan tata cara menghadiri acara sosial.
Setelah persetujuan dicapai, keluarga akan memberikan mahar, ditambah bebungah, sebagai bentuk penghargaan atas jasa sang gowok.
Namun tak jarang kisah gowokan menyimpan konflik emosional. Beberapa cerita rakyat menggambarkan bagaimana calon pengantin laki-laki jatuh cinta pada gowoknya, yang bisa mencoreng nama baik keluarga.
Inilah yang diangkat dalam film “Gowok Kamasutra Jawa”—kisah cinta yang tumbuh di antara guru dan murid, dalam bingkai tradisi yang membelenggu.
Film yang diproduksi oleh Raam Punjabi dan MVP Pictures ini pertama kali dikenalkan di ajang International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025.
Naskahnya menyoroti dinamika batin seorang gowok yang terjebak dalam cinta terlarang. Ia tidak hanya harus melatih calon mempelai dalam seni rumah tangga dan seksual berdasarkan kitab-kitab kuno seperti Centini, Nitimani, dan Wulangreh, tetapi juga menahan gejolak hati yang muncul.
Pemeran film ini tidak hanya dibintangi Reza Rahadian dan Raihaanun, tetapi juga didukung oleh Lola Amaria, Devano Danendra, Alika Jantinia, Ali Fikry, Nayla Purnama, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu, dan Slamet Rahardjo.
Mereka membangun kembali atmosfer Jawa masa lalu dengan kuat, membangkitkan kembali nilai-nilai budaya yang mulai terlupakan.
Tradisi gowok memang perlahan hilang sejak tahun 1965, terutama setelah peristiwa politik besar di Indonesia dan meningkatnya pengaruh ajaran Islam di masyarakat Banyumas.
Tradisi ini dinilai bertentangan dengan norma agama dan sosial, sehingga tidak lagi dipraktikkan. Meski begitu, dokumentasi sejarah tetap mencatatnya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa yang unik.
Penelusuran sejarah dari laman historia.id menyebut bahwa di masa lalu, seorang gowok mendapatkan bayaran harian, berkisar antara 0,25 hingga 0,30 gulden.
Fakta ini menunjukkan bahwa pergowokan bukan hanya tradisi budaya, tetapi juga sebuah profesi yang dihargai.
Kisah gowok, meski penuh kontroversi, sesungguhnya merefleksikan cara masyarakat tradisional dalam membentuk calon suami yang bertanggung jawab.
Tradisi ini dirancang untuk menyiapkan laki-laki menghadapi kehidupan pernikahan yang kompleks, mulai dari urusan domestik hingga persoalan batin.
Film “Gowok Kamasutra Jawa” menjadi pengingat bahwa setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam mempersiapkan generasinya.
Di tengah arus modernisasi, film ini tak hanya menampilkan sisi erotisme budaya, tetapi juga menggugah penonton untuk memahami nilai dan warisan lokal secara lebih bijaksana.(Sumber)