Microsoft mengakui mereka menjual layanan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan komputasi cloud untuk militer Israel selama perang di Gaza dan membantu upaya untuk menemukan dan menyelamatkan sandera warga Israel. Namun mereka membantah AI yang disediakan dipakai untuk menyakiti warga Gaza.
Pengakuan tersebut diposting di situs web resmi Microsoft. Ini menjadi pengakuan pertama Microsoft atas keterlibatannya dalam perang Israel melawan Hamas yang kini telah menyebabkan puluhan ribu warga Gaza meninggal dunia.
Pengakuan Microsoft ini datang tiga bulan setelah investigasi yang dilakukan The Associated Press (AP) yang mengungkap rincian kerja sama antara raksasa teknologi asal Amerika dengan Kementerian Pertahanan Israel, di mana penggunaan platform Azure dan teknologi AI oleh militer Israel mengalami peningkatan 200 kali lipat setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Menurut laporan AP, militer Israel menggunakan Azure untuk menyalin, menerjemahkan, dan memproses intelijen yang dikumpulkan melalui pengawasan, kemudian diperiksa dengan sistem internal Israel berteknologi AI.
Sayangnya, dalam pernyataan yang dimuat pada Kamis (15/5), Microsoft tidak merinci bagaimana tepatnya militer Israel menggunakan teknologinya. Mereka mengatakan hanya menyediakan perangkat lunak, layanan profesional, dan cloud Azure serta layanan Azure AI termasuk penerjemahan bahasa kepada militer Israel. Microsoft juga mengaku telah bekerja sama dengan pemerintah Israel untuk melindungi keamanan siber nasional dari ancaman luar.
Selain itu, Microsoft memberikan Israel akses khusus ke teknologi yang mereka miliki, dan memberi dukungan darurat terbatas sebagai bagian dari upaya untuk membantu menyelamatkan lebih dari 250 sandera yang ditawan Hamas. Kendati begitu, Microsoft tidak merinci bagaimana mereka memberikan bantuan kepada militer Israel untuk membebaskan sandera atau langkah-langkah khusus untuk melindungi hak dan privasi warga Palestina.
Microsoft mengatakan, militer Israel seperti pelanggan lainnya terikat untuk mengikuti Acceptable Use Policy and AI Code of Conduct milik perusahaan yang melarang penggunaan produk untuk menimbulkan kerugian dengan cara apa pun yang dilarang hukum. Dalam pernyataannya, Microsoft mengklaim tidak menemukan bukti militer Israel melanggar ketentuan tersebut. Mereka juga tidak menemukan bukti platform Azure dan teknologi AI-nya digunakan untuk menargetkan dan menyakiti warga Gaza.
Selain Microsoft, militer Israel sendiri diketahui memiliki kontrak layanan cloud dan AI dengan perusahaan raksasa lain, seperti Google, Amazon, Palantir, dan beberapa perusahaan teknologi besar Amerika.
Israel telah menggunakan banyak data intelijennya untuk menyasar militan Hamas dan melakukan penggerebekan ke Gaza untuk menyelamatkan sandera. Sayangnya, dalam operasi penyelamatan tersebut banyak warga Gaza yang menjadi korban.
Pada operasi Februari 2024, misalnya, militer Israel membebaskan dua sandera di Rafah. Operasi tersebut menewaskan sedikitnya 60 warga Palestina. Lalu penggerebekan Juni 2024 di kamp pengungsi Nuseirat, Israel berhasil membebaskan empat sandera dari tahanan Hamas tapi mengakibatkan 274 warga Palestina meninggal dunia.
Secara keseluruhan, kebrutalan Israel di Gaza dan Lebanon telah mengakibatkan lebih dari 50.000 orang meninggal dunia, banyak di antaranya wanita dan anak-anak.
No Azure for Apartheid, sekelompok karyawan Microsoft, saat ini dan sebelumnya telah menyerukan agar perusahaan merilis salinan lengkap laporan investigasi ke publik.
“Sangat jelas bahwa maksud mereka dengan pernyataan ini bukanlah untuk benar-benar menanggapi permasalahan buruh, tapi lebih merupakan aksi humas untuk membersihkan citra mereka yang telah ternoda oleh hubungan perusahaan dengan militer Israel,” kata Hossam Nasr, mantan pekerja Microsoft yang dipecat pada Oktober 2024 lalu setelah ia membantu menyelenggarakan acara peringatan mengenang warga Palestina yang terbunuh di Gaza.
Kemitraan ini jadi bukti kuat semakin besarnya minat perusahaan teknologi menjual produk kecerdasan buatan ke sektor militer untuk berbagai keperluan, termasuk di Israel, Ukraina, dan Amerika Serikat. Kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan kekhawatiran mereka akan bahaya penggunaan AI oleh militer, yang dinilai rentan mengalami kesalahan, seperti digunakan untuk membantu membuat keputusan tentang siapa atau apa yang menjadi target, sehingga bisa mengakibatkan kematian orang-orang tak bersalah.(Sumber)