Bulan Dzulhijjah menjadi momen istimewa bagi umat Islam, karena di dalamnya terdapat ibadah kurban yang menjadi syariat penting sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah SWT.
Meski kurban secara formal disyariatkan pada masa Nabi Ibrahim AS, akar sejarahnya telah terekam jauh sebelumnya—tepatnya pada era Nabi Adam AS, manusia pertama yang diutus Allah ke bumi.
Riwayat klasik yang dikutip dari Qashashul Anbiya karya Ibnu Katsir, sebagaimana diterjemahkan oleh Umar Mujtahid, menyebutkan bahwa dua anak Nabi Adam AS, yakni Qabil dan Habil, menjadi pelaku dari peristiwa kurban pertama dalam sejarah umat manusia. Kisah ini bermula dari persoalan pernikahan yang melibatkan keduanya.
Dikisahkan bahwa Habil ingin menikahi saudari kembar Qabil yang dikenal memiliki paras rupawan. Namun, Qabil pun menginginkan perempuan yang sama sebagai istri.
Menyikapi konflik tersebut, Nabi Adam AS mengambil keputusan tegas. Ia memerintahkan agar anak-anaknya mempersembahkan kurban kepada Allah. Siapa pun yang kurbannya diterima, maka dialah yang berhak menikahi perempuan tersebut.
Dengan penuh ketundukan, Habil mempersembahkan hewan ternak terbaiknya sebagai kurban, sementara Qabil mempersembahkan hasil pertaniannya yang tidak berkualitas. Allah menerima kurban Habil dan menolak milik Qabil.
Keputusan Ilahi ini memicu kecemburuan mendalam di hati Qabil hingga ia melakukan pembunuhan terhadap saudaranya sendiri—menjadikannya pelaku pembunuhan pertama dalam sejarah manusia.
Kisah ini bukan sekadar narasi masa lampau. Ia mengandung nilai-nilai spiritual yang mendalam: bahwa keikhlasan dan ketulusan dalam beribadah menjadi kunci diterimanya amal. Kurban bukan hanya tentang pengorbanan materi, tetapi juga soal ketundukan hati kepada perintah Tuhan.
Dalam konteks kekinian, spirit kurban sebagaimana dicontohkan oleh Habil dapat menjadi cermin bagi umat Islam dalam mempersembahkan yang terbaik kepada Allah, sekaligus menjadi pelajaran moral tentang kecemburuan, keadilan, dan konsekuensi dari tindakan yang dilandasi nafsu.(Sumber)