Dave Laksono Cari Pintu Masuk Untuk Panggil Google Terkait Penyalahgunaan Data Pelajar

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono tidak menutup peluang pihaknya akan memanggil Google untuk minta keterangan terkait kekhawatiran keamanan data pelajar, usai mencuatnya korupsi pengadaan Chromebook dan dugaan upaya Googleisasi sistem pendidikan.

Ia menyebut pemanggilan bisa saja terjadi ketika pihaknya ingin menggali aspek tertentu, seperti dugaan masalah keamanan data.

“Tergantung, aspek mana yg kita dibutuhkan untuk masuk ya,” kata Dave saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, dikutip Sabtu (14/6/2024).

Akan tetapi, Dave masih belum tahu kapan pemanggilan dilakukan. Dia bilang, biarlah aparat penegak hukum bekerja lebih dulu, jangan diintervensi.

“Itu kan kasus yang berjalan ya, sebaiknya biar proses hukum berlangsung. Agar tidak ada intervensi dari manapun, dan kasus dapat selesai,” jelasnya.

Sebelumnya, pengamat hukum dari Universitas Bung Karno Hudi Yusuf menilai DPR seharusnya dapat memanggil pihak Google, untuk dimintai keterangan seputar jaminan keamanan data terkait kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek era Nadiem Makarim.

“Semua warga negara bertanggung jawab terkait pertahanan dan keamanan negara, data itu sangat penting, apabila jatuh kepada pihak yang berlawanan dapat berbahaya.

Seyogyanya apabila hal ini dianggap penting, maka tidak masalah DPR memanggil Google,” tutur Hudi kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/6/2025).

Menurutnya selama permintaan keterangan ini bermanfaat bagi penegakan hukum dan keamanan pertahanan nasional, maka tak ada salahnya DPR memanggil pihak Google. “Kedepankan subtansi untuk merah putih bukan prosedur,” tandasnya.

Diketahui, penyidik Jampidsus Kejagung masih mengumpulkan bukti keterlibatan pihak Google dalam kasus dugaan korupsi progam digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek khususnya terkait pengadaan laptop chromebook.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menegaskan, penyidik masih memproses kasus ini karena baru naik ke tahap penyidikan. “Penyidikan ini masih di awal dan sedang berproses,” kata Harli ketika dihubungi Inilah.com, Senin (9/6/2025).

Kata Harli, penyidik Jampidsus Kejagung sangat terbuka menunggu laporan bukti keterlibatan pihak Google dalam kasus dugaan korupsi proyek laptop chromebook tersebut.

Khususnya terkait bukti Permendikbud No. 5 Tahun 2021 yang menetapkan spesifikasi minimal laptop pendidikan harus menggunakan sistem operasi ChromeOS, Jurist Tan (eks Staf Khusus Mendikbudristek) memiliki suami yang menjabat sebagai petinggi Google untuk kawasan Asia Tenggara, serta terkait rekaman percakapan antara eks Staf Khusus Mendikbudristek Jurist Tan dan Irjen Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, di mana Jurist Tan diduga menyebut secara eksplisit bahwa proyek Chromebook harus dimenangkan dan meminta fee 30 persen kepada Google. “Jika memang ada informasi-informasi yang dapat memperkuat pembuktian silahkan aja disampaikan ke penyidik,” kata Harli.

Data Pelajar Dimanfaatkan Google?
Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, kebijakan Nadiem adalah pengabaian atas prinsip kedaulatan secara telanjang dan terang-terangan. Padahal, sambung dia, pendidikan adalah investasi masa depan bangsa dan data pendidikan merupakan cetak biru dari masa depan itu sendiri.

“Apa jaminannya data tersebut tidak disalahgunakan? Bagaimana kita bisa yakin data itu tidak menjadi komoditas untuk kepentingan bisnis Google? Hingga kini, kita tidak pernah mendapatkan penjelasan transparan mengenai bagaimana data tersebut dikelola, di mana disimpan, dan apakah ada perjanjian yang mengikat Google untuk tidak memanfaatkan data tersebut di luar kepentingan pendidikan,” ucapnya saat berbincang dengan Inilah.com, Kamis (5/6/2025).

Kekhawatiran Ubaid bukan isapan jempol, tetapi sudah diwanti-wanti oleh Shoshana Zuboff, seorang penulis, profesor, psikolog sosial dan filsuf asal Amerika Serikat (AS). Lewat bukunya bertajuk ‘The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power,’ dia memperingatkan dunia yang sedang memasuki era ‘kapitalisme pengawasan’.

Perusahaan teknologi seperti Google menemukan potensi besar dalam mengolah data pengguna untuk memprediksi perilaku konsumen. Penemuan ini membuka pintu bagi terciptanya pasar prediksi yang sangat menguntungkan, mengubah lanskap ekonomi digital secara fundamental.

Google ataupun perusahaan teknologi lainnya, menggunakan mekanisme canggih untuk mengekstraksi nilai dari data pribadi pengguna. Tidak hanya mengontrol arus informasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membentuk persepsi, mempengaruhi keputusan, dan bahkan memanipulasi perilaku masyarakat luas. Mereka mengembangkan algoritma yang mampu menganalisis pola perilaku, preferensi, bahkan emosi dengan tingkat akurasi yang mencengangkan. Data ini kemudian digunakan untuk membuat prediksi yang sangat bernilai bagi pengiklan.

Dalam analisis setebal 700 halaman, Zuboff mengkritisi perilaku Google—termasuk perusahaan teknologi lainnya—yang mengklaim kepemilikan atas data yang mereka kumpulkan, seolah-olah itu adalah hasil panen dari lahan mereka sendiri. Padahal, data tersebut adalah cerminan dari kehidupan pribadi dan pengalaman kita sehari-hari. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kepemilikan data dan hak individu atas informasi pribadinya.(Sumber)