Dalam forum International Conference on Infrastructure 2025, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Wamildan Tsani Panjaitan memaparkan sejumlah tekanan yang dihadapi industri penerbangan.
Menurut dia, industri penerbangan mesti menghadapi kenaikan harga bahan bakar atau avtur, biaya perawatan yang makin tinggi, gangguan rantai pasok, hingga volatilitas nilai tukar.
Maskapai BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) melaporkan kinerja belum diaudit untuk tahun 2020 selama pandemi Covid-19 dibanding tahun 2019.
Berdasarkan paparan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, Senin ini (21/6/2021) yang disiarkan dari Youtube DPR RI, kinerja Garuda tampak turun tajam dari tahun sebelumnya.
Dari paparan tersebut, Garuda menderita rugi bersih sebesar US$ 2,50 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun (kurs Rp 14.000/US$) dibandingkan dengan tahun 2019 yang masih mencetak laba bersih US$ 6,99 juta (Rp 98 miliar).
Tahun 2019, perseroan sebetulnya berhasil mencetak laba bersih US$ 6,99 juta dibandingkan dengan tahun 2018 yakni rugi bersih US$ 259,88 juta (Rp 3,64 triliun).
Rugi bersih di 2020 tersebut dialami seiring dengan turunnya pendapatan sebesar 78% menjadi US$ 1,01 miliar atau Rp 14 triliun dari tahun 2019 sebesar US$ 4,57 miliar atau Rp 64 triliun.
Di sisi lain, EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) dengan PSAK (pedoman standar akuntansi keuangan) 2020 tercatat negatif US$ 683,4 juta, sementara EBITDA tanpa PSAK juga tercatat negatif hingga US$ 1,47 miliar.
Adapun total kewajiban Garuda di 2020 mencapai US$ 9,57 miliar atau Rp 134 triliun, dengan ekuitas negatif mencapai US$ 1,99 miliar. Bandingkan dengan 2019 di mana kewajiban baru mencapai US$ 3,74 miliar dan ekuitas masih positif sebesar US$ 720,62 juta.
Sementara itu, rugi bersih di periode 31 Mei 2021 mencapai US$ 714,8 juta (year on year) dan rugi secara month on month di Mei 2021 mencapai US$ 181,1 juta.
Manajemen Garuda, dalam dokumen paparannya menyebut bahwa total pendapatan 2020 turun hingga 70% dibanding 2019. Total biaya operasional 2020 juga turun 23% dibanding 2019 karena adanya dampak impairment asset RoU (right of use) sebesar US$ 545 juta.
Pada 6 Oktober 2020, perseroan juga telah menerima fasilitas Program Khusus Ekspor (PKE) dari LPEI sebesar Rp 1 triliun dan pada 4 Februari 2021, Garuda telah menerima pencairan tahap pertama OWK (obligasi wajib konversi) sebesar Rp 1 triliun dari maksimal RP 8,5 triliun.
“Recovery rate yang melambat menyebabkan permasalah likuditas dan solvabilitas serius. Garuda saat ini sedang melakukan grand restructuring baik secara operasional dan financial untuk membuat Garuda yang sustain dan tetap menjadi Indonesia Flag Carrier,” tulis manajemen Garuda dalam dokumen tersebut.(Sumber)