News  

Pengamat: Jokowi Produk Intelijen Global

Amir Hamzah (IST)

Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilkada DKI 2012 hingga dua periode sebagai Presiden RI disebut bukan semata hasil kekuatan politik konvensional, tetapi buah dari skenario intelijen multinasional. Demikian klaim pengamat intelijen dan geopolitik, Amir Hamzah, dalam keterangannya yang menghebohkan publik.

“Jokowi itu bukan produk politik alami, dia produk dari desain intelijen yang sangat kompleks. Bukan hebat karena dirinya semata, tapi karena kekuatan di belakang layar,” ujar Amir Hamzah kepada Radar Aktual, Ahad (22/6/2025).

Menurut Amir, skenario besar ini telah berlangsung sejak Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo, yang kemudian meloncat menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga akhirnya menduduki kursi Presiden RI dua periode. Ia menyebut kemenangan pasangan Jokowi–Ahok dalam Pilkada Jakarta 2012 sebagai bentuk keberhasilan operasi intelijen lokal dan global.

“Sebetulnya yang menang waktu itu Foke–Nara, tapi yang dilantik justru Jokowi–Ahok. Ini bukan hal biasa,” ungkapnya.

Hal serupa, kata Amir, juga terjadi dalam dua kali Pilpres, yakni 2014 dan 2019. “Yang menang disebut-sebut Prabowo, tapi yang dilantik tetap Jokowi. Ini bukan sekadar pertarungan politik, ini operasi skenario besar.”

Tak hanya itu, Amir juga menyoroti polemik dugaan ijazah palsu Jokowi. Ia menilai isu tersebut sengaja dibiarkan terus bergulir agar masyarakat teralihkan dari agenda besar yang lebih penting.

“Isu ijazah palsu itu bukan kebetulan. Ini bagian dari strategi pengalihan perhatian publik dari kekuatan besar yang sedang bekerja di balik layar,” kata dia.

Amir Hamzah bahkan menyinggung keterlibatan intelijen asing, termasuk CIA, dalam rekayasa politik nasional. Ia menyebut bahwa pada awal pemerintahan Presiden SBY, CIA meminta agar tokoh Islam Abu Bakar Ba’asyir dikriminalisasi, dan operasi itu diduga dilakukan melalui pendekatan kepada Jokowi yang saat itu menjabat Wali Kota Solo.

“CIA minta kepada SBY agar Ba’asyir ditangkap. Dan operasi intelijen itu bermarkas di Solo, ketika Jokowi jadi Wali Kota,” tegas Amir.

Dalam narasi Amir, pengangkatan Jokowi dari Solo ke Jakarta dan kemudian ke tingkat nasional bukanlah proses organik melainkan tahapan terencana dalam kerangka desain besar pasca-amandemen UUD 1945 tahun 2002.

Amir juga menyoroti posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih yang dinilai sarat polemik konstitusional. Ia menyebut posisi Gibran bukan makin terang, tetapi justru makin rumit dan kompleks.

“Ini semua bagian dari desain. Dan rakyat harus tahu bahwa apa yang kita saksikan selama ini bukan semata peta demokrasi biasa, tapi hasil operasi skenario intelijen luar biasa,” pungkasnya.