News  

3 Fakta Soal Toa Banjir Jakarta Seharga Rp.4 Miliar

Toa Banjir Jakarta

Pasca-banjir Jakarta dan sekitarnya di awal Januari 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan pihak kelurahan untuk memberikan peringatan dini banjir kepada masyarakat menggunakan pengeras suara dan sirine.

Peringatan dini tersebut diberlakukan untuk mengevaluasi prosedur peringatan dini yang selama ini dilakukan.

Melansir Kompas.com (8/1/2020), Pemprov DKI sebenarnya telah memberikan peringatan dini melalui pesan berantai ke ponsel warga sebelum terjjadi banjir pada Rabu (1/1/2020) dini hari.

Akan tetapi, pemberitahuan yang disampaikan malam hari diduga tidak terbaca sehingga sebagian tidak memperoleh informasi. Oleh karena itu, ia menilai penggunaan toa lebih efektif.

Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki 14 set disaster warning system (DWS), automatic weather system (AWS), dan automatic water level recorder (AWLR) sebagai alat peringatan dini atau early warning system.

Berikut adalah fakta-fakta seputar toa sebagai media peringatan dini tersebut:

1. Membutuhkan anggaran Rp 4 miliar

Mengutip Kompas.id (17/1/2020), berdasarkan informasi dari BPBD DKI Jakarta, Jumat (17/1/2020), anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan enam perangkat pengeras suara itu adalah sebesar Rp 4.073.901.441.

Anggaran ini sudah termasuk biaya perawatan selama satu tahun, yaitu sebesar Rp 165 juta. Setiap perangkat memiliki empat toa yang dipasang pada satu tiang. Perangkat-perangkat ini akan dipasang di lokasi-lokasi rawan banjir.

Setelah dipasang, pengumuman peringatan bencana banjir akan diumumkan oleh BPBD DKI melalui perangkat tersebut.

2. Menuai dukungan dan kritik dari sejumlah pihak

Pengadaan peringatan dini dengan toa tersebut juga menuai kritik dari sejumlah pihak. Para pihak yang mengkritik menilai toa terlalu kuno dan anggarannya terlalu besar hingga mencapai miliaran Rupiah.

Melansir Kompas.com (12/1/2020), Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengungkapkan bahwa peringatan dengan menggunakan toa sudah ketinggalan zaman dan seharusnya tidak lagi digunakan.

Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Wlliam Aditya Sarana juga menilai penggunaan toa menunjukkan kemunduran dari sistem yang pernah dimiliki Jakarta.

Sementara, mengutip Kompas.com (14/1/2020), Sekretaris Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta Judistira Hermawan mengaku setuju dengan inisiatif Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mengumumkan banjir dengan toa atau pengeras suara.

Meski demikian, ia meminta Pemprov DKI Jakarta untuk memperingatkan soal banjir melalui media sosial agar lebih efektif.

3. Bukan toa biasa

Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Jakarta Mohammad Insaf menjelaskan bahwa perangkat suara itu tidak seperti toa pada umumnya. Setiap perangkat memiliki empat toa yang dilengkapi pemancar.

Adanya pemancar memungkinkan peringatan dapat disampaikan dari jarak jauh. Akan tetapi, dalam kondisi darurat, pengeras suara juga dapat dioperasikan secara manual.

Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta M Ridwan mengatakan bahwa sistem DWS ini menerapkan metode dari Jepang yang dapat menjangkau seluruh warga, bahkan warga yang tidak terpapar teknologi.

“DWS ini akan memberikan informasi berupa suara petugas BPBD, yang dapat menjangkau hingga radius 500 meter. DWS ini akan beroperasi jika tinggi muka air telah berada pada Siaga 3,” ungkapnya. {kompas}