PPP Bingung Pertamina Ekspor Minyak Mentah Ke Singapura dan Diimpor Lagi

Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PPP Elly Rachmat Yasin menyayangkan sampai saat ini Pertamina belum bisa maksimal dalam mengolah minyak. Sehingga mereka terpaksa mengekspor minyak mentah dan mengimpornya kembali saat sudah sudah dipakai.

“Minyak mentah Indonesia lebih banyak diekspor ke Singapura daripada diolah sendiri di kilang pengolahan (refinery). Diolah di Singapura, lalu produk olahan minyak itu kembali diimpor oleh Indonesia,” kata Elly kepada wartawan, Kamis (27/2/2020).

Akibatnya, Indonesia mengalami selisih perdagangan yang sangat besar. Ketika Indonesia mengekspor minyak mentah ke Singapura nilainya USD 500 juta, tapi nilai impor minyak jadi dari Singapura mencapai USD 5 miliar.

“Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Karena itu, pembangunan dan peningkatan kapasitas kilang Pertamina perlu diprioritaskan.”

“Pertamina sebagai holding BUMN Migas hanya memiliki tujuh kilang minyak dengan total kapasitas mencapai 1.15 juta barel per hari (bpd). Di antaranya di Dumai, Praju, Balongan, Cilacap, Balikpapan, Tuban dan Papua,” ujar Elly.

Ia menyarankan agar kilang-kilang minyak tersebut terus dilakukan pembangunan dan peremajaan supaya dapat mengolah minyak mentah dengan kapasitas yang lebih besar.

Khususnya untuk memenuhi ketahanan energi nasional. Untuk kebutuhan industri dan rumahtangga juga bisa untuk membuka bisnis-bisnis baru.

“Keberadaan kilang minyak dapat menunjukkan keperkasaan suatu bangsa atas kedaulatan energinya. Dengan mengolah minyak mentah sendiri akan dapat memangkas biaya pengadaan BBM. Juga bisa menciptakan nilai tambah karena akan membuka peluang untuk industri baru,” katanya.

Legislator dapil Jawa Barat V ini mengingatkan kepada pemerintah dan Pertamina agar jangan mau didikte oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan kedaulatan energi nasional tercapai.

Karena mereka memperoleh keuntungan dari impor ratusan ribu barel perhari minyak dari Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Azerbaijan, Arab Saudi maupun dari Qatar.

Elly mengatakan memang terjadi ketimpangan antara kebutuhan konsumsi dengan kemampuan produksi Pertamina.

“Tetapi, sumber daya alam kita melimpah dari yang berbasis fosil maupun energi baru terbarukan. Tinggal bagaimana holding Migas yang dipimpin oleh Pertamina ini sungguh-sungguh mengolahnya.”

“Sudah menjadi holding dengan melibatkkan perusahaan gas. Mestinya Pertamina lebih super sehingga tidak perlu lagi membiasakan impor BBM,” pungkasnya. {tribun}