News  

Pelecehan Seksual di Ruang Publik: Mayoritas Siang Hari, Kebanyakan Korban Berhijab

Korban-korban pelecehan seksual di ruang publik seringkali dianggap memicu terjadinya aksi pelecehan tersebut karena mereka mengenakan baju terbuka. Namun, pengakuan korban yang dikuatkan hasil survei terbaru mematahkan anggapan itu.

Hannah Al-Rashid, perempuan yang tampil dalam sejumlah film di Indonesia, mengaku menjadi penyintas pelecehan seksual di ruang publik.

Pengalaman itu begitu membekas dalam benaknya dan menimbulkan trauma. Berikut penuturan Hannah kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan.

‘Saya membawa trauma itu setiap hari’

Saya pernah mengalami beberapa kali pelecehan seksual di ruang publik, mulai di alun-alun, institusi pendidikan, tempat kerja, hingga transportasi umum.

Sebagai perempuan, saya merasa tidak sendiri yang pernah mengalami pelecehan seksual di setiap ruang publik.

Tapi, yang paling membekas, adalah saat saya berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Ada dua orang lelaki naik motor, meraba saya dan langsung pergi.

Saya otomatis mengalami syok. Saking syoknya, saya tidak melakukan apapun. Bahkan pelaku bisa memutar balik kepalanya dan tersenyum sinis kepada saya. Saya marah banget. Tapi saya tidak bisa melakukan apapun.

Ketika kedua kalinya saya dilecehkan, secara insting saya langsung lari, mengejarnya, dan berteriak. Kebetulan, di salah-satu ruas jalan, ada petugas pos jaga. Mereka sedang bermain catur.

Saya dalam keadaan emosi, menangis. Mereka lalu bertanya apa yang terjadi. Saya mengatakan ‘saya baru mengalami pelecehan’. Apa reaksi mereka? ‘Oh biasa’. Saya makin marah.

Ketika melihat perempuan dalam kondisi emosi dan menangis karena dilecehkan secara seksual, mereka tidak melakukan bantuan apapun. Saya makin kesal.

Ternyata trauma itu masih saya simpan sampai sekarang. Kalau ada motor melaju terlalu dekat ke saya, saya langsung menutup diri.

Walaupun saya termasuk yang selalu mengampanyekan agar siapapun bersuara dan melawan pelecehan seksual, saya masih menyimpan trauma. Dan saya membawa trauma itu setiap hari.

Itulah sebabnya saya senang luar biasa dengan survei tentang pelecehan seksual ini karena berangkat dari perspektif korban dan bukan pelaku.

Dengan informasi yang kita dapatkan dari survei ini, memang kita seharusnya bisa menyampaikannya kepada pihak berwenang untuk melakukan sesuatu.

Jangan terus dari masyarakat sipil untuk terus bergerak. Kita semua ingin merasa aman di negara ini.

Korban pelecehan berhijab dan terjadi pada siang hari

Penuturan Hannah menguatkan hasil survei terbaru mengenai pelecehan seksual di ruang publik

Dalam temuan survei, mayoritas korban pelecehan seksual di ruang publik tidak mengenakan baju terbuka, melainkan memakai celana atau rok panjang (18%), hijab (17%) dan baju lengan panjang (16%).

Hasil survei juga menunjukkan waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).

“Ternyata banyak mitos yang keliru!” kata Rastra Yasland, tim pengada survei di Jakarta, Rabu (17/07), saat mengumumkan hasil survei yang dilakukan koalisi sejumlah LSM terhadap 62.000 orang warga Indonesia secara nasional pada akhir 2018.

“Selama ini korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap ‘mengundang’ aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan sendiri di malam hari,” ungkapnya.

“Tapi itu semua bisa dibantah dengan hasil survei ini yang jelas menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari,” tambahnya.

Survei ini dilakukan oleh koalisi yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia.

Dalam survei ini tidak disebutkan korban pelecehan yang memakai rok mini atau blus tak berlengan.

Pelecehan seksual: ‘Karena niat pelaku’

Temuan ini, menurut pendiri organisasi perEMPUan, Rika Rosvianti, sekaligus membuktikan bahwa pelecehan seksual murni terjadi karena niat pelaku.

“Tidak ada korban yang ‘mengundang’ untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain,” tambahnya.

Untuk itulah, demikian rekomendasi survei tersebut, sudah saatnya masyarakat mengubah pola pikir yang acapkali melakukan viktimisasi korban.

“Saya ingin mengajak semua orang yang membaca hasil survei ini untuk bersama-sama #LawanPelecehan,” kata Rika.

“Kalau kita tidak bertindak, pelecehan seksual ini akan terus terjadi dan menghasilkan lebih banyak korban yang bisa jadi adalah orang yang penting dalam hidup kita,” tandasnya.

‘Pelecehan verbal’

Dalam survei disebutkan mayoritas korban mengaku mengalami pelecehan secara verbal seperti komentar atas tubuh (60%), fisik seperti disentuh (24%) dan visual seperti main mata (15%).

Di bagian lain survei, terungkap pula bahwa pelecehan seksual tidak selalu dialami perempuan, namun juga laki-laki.

“Karena itu isu mengenai pelecehan seksual di ruang publik ini tidak hanya menjadi kepedulian perempuan, tapi juga laki-laki,” kata Rika.

Kesimpulan survei juga menunjukkan bahwa satu dari dua korban yang mengalami pelecehan seksual saat masih di bawah umur.

Apa yang dilakukan saksi pelecehan seksual?

Selain itu, temuan penting dari survei ini adalah reaksi para saksi (bystander) saat terjadi pelecehan seksual di ruang publik.

Terungkap bahwa korban mengaku banyak saksi yang mengabaikan (40%) dan bahkan menyalahkan korban (8%) ketika pelecehan terjadi.

Namun banyak pula yang membela korban (22%) dan beursaha menenangkan korban (15%) setelah kejadian. “Dan, sebanyak 92% korban mengaku merasa terbantu setelah dibela,” ungkap survei tersebut.

Temuan lain dari survei ini mengungkap lokasi di ruang publik yang disebut paling banyak terjadi pelecehan seksual.

Pelecehan seksual disebutkan seringkali terjadi di jalanan umum (33%), transportasi umum termasuk halte (19%), serta sekolah dan kampus (15%).

Sementara, transportasi umum yang paling banyak terjadi pelecehan seksual adalah: bus (36%), angkot (30%), ojek dan taksi online (18%), KRL (18%), serta ojek dan taksi konvensional (6%).

Apa komentar pengelola ojek dan taksi online?

Hasil survei menyebutkan ojek dan taksi online merupakan salah-satu transportasi umum yang paling banyak terjadi pelecehan seksual, yaitu 18%.

Sejumlah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di transportasi online juga dilaporkan masih terjadi semenjak sejak sistem transportasi ini berkembang di Indonesia. Apa upaya pencegahan yang bisa dilakukan?

Senior manager corporate affairs salah-satu aplikasi transportasi online, yaitu Gojek, Alvita Chen mengatakan, pihaknya telah melatih para pengendara (driver) tentang isu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di ruang publik.

Alvita mengaku telah menggandeng sejumlah komunitas yang peduli dan memahami seputar isu tersebut untuk melatih mitranya tersebut.

Menurutnya, isu pelecehan seksual di ruang publik menjadi perhatian Gojek, karena mayoritas pengguna layanannya adalah perempuan.

“Dan hasil survei yang menyebut pelecehan seksual bisa terjadi siang hari, sore dan malam hari, itu juga sesuai dengan servisnya gojek dari siang, sore dan malam hari,” kata Alvita.

Salah-satu materi pelatihan yang disampaikan kepada pengendara Gojek adalah tentang fakta statistik kekerasan seksual. “Dan betapa menariknya fakta-fakta ini bisa membuka mata peserta,” kata Alvita.

Para peserta juga diberi materi tentang definisi pelecehan seksual hingga isu gender, tambahnya.

“Kita juga menekankan bahwa masalah ini tidak boleh dicuekin, bahkan gesture yang tak tepat juga menjadi perhatian,” ungkapnya.

Para pengendara juga dimateri untuk melakukan intervensi apabila melihat pelecehan dan kekerasan seksual di jalanan.

Lebih lanjut, terungkap pula bahwa survei ini mengungkap bahwa 56% korban pelecehan seksual berani melawan pelakunya.

Dan saat dilawan, pelaku disebutkan hanya bisa pura-pura bodoh (38%) dan mengolok dan mengumpat (36%).

Apa tanggapan Komnas Perempuan?

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan survei pelecehan seksual di ruang publik ini “sangat detil” untuk mengkategorisasi bentuk-bentuk pelecehan seksual, sehingga masyarakat bisa melihat pola pelakunya.

“Sehingga kalau ada gejala itu, kita dan para calon korban bisa melakukan sesuatu,” kata Mariana kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/07).

Survei ini juga penting, lanjutnya, karena memasukkan faktor gender laki-laki. “Ternyata laki-laki enggak bisa pergi begitu saja, karena mereka juga mengalami pelecehan seksual, tetapi dalam bentuk lain, misalnya penghinaan.

“Jadi, ketelitian survei ini membantu kita melakukan penanganan atau bagaimana cara mencegah agar tidak terjadi lagi,” katanya.

Image caption“Jadi problemnya, ketika Anda perempuan, maka Anda bisa mengalami pelecehan seksual dengan pakaian apapun yang Anda gunakan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin.

Tentang hasil survei yang menyebut pengguna hijab pun rentan menjadi korban pelecehan seksual, Mariana menganalisa, hal itu bisa terjadi karena saat ini di ruang publik sudah banyak orang berjilbab atau mengenakan celana atau rok panjang.

“Jadi problemnya, ketika Anda perempuan, maka Anda bisa mengalami pelecehan seksual dengan pakaian apapun yang Anda gunakan,” kata Mariana.

Adapun tentang waktu siang atau sore hari disebut banyak terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan, menurut Mariana, karena pada waktu itu banyak perempuan yang keluar ke ruang publik.

“Sehingga merekalah yang mengalami pelecehan seksual. Jadi, tidak ada urusan dengan jam malam atau pakai rok mini,” tegasnya.

“Tidak ada orang pakai rok mini di ruang publik, semua mengenakan pakaian kerja,” tambah Mariana.

Menurutnya, sudah ada langkah-langkah dari otorita terkait suntuk mencegah pelecehan seksual di ruang atau transportasi publik, misalnya di KRL.

“Tapi, karena mereka mungkin belum paham betul apa itu pelecehan seksual, dan belum memiliki sensitivitas apa yang harus dilakukan supaya (calon pelaku) orang ini tidak melakukan (lagi),” katanya. {bbc}