PDIP: Resesi Di Depan Mata, Puluhan BUMN Besar Terancam Bangkrut

Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto memprediksi kondisi ekonomi Indonesia ke depan akan mengalami kontraksi yang cukup memprihatinkan.

Tak hanya ekonomi secara nasional yang akan terdepresiasi akibat kontraksi itu, bahkan lanjut dia, sejumlah BUMN besar dalam bayang-bayang kebangkrutan.

“Resesi didepan mata dan akan dimulai saat masuk kuartal ke 2 /2020. Produk Domestik Bruto (PDB) akan mulai negatif. Saat ini saja banyak demand turun, stock berlebih,” kata Bendahara Megawati Institute itu kepada wartawan, Kamis (16/04/2020).

Saat ini saja, lanjut Darmadi mengungkapkan, sejumlah BUMN dengan kepemilikan modal dan aset besar saja tengah dalam kondisi mengkhawatirkan.

“PLN akibat turun demand kuartal I mereka kehilangan Rp6.5 Triliun. Ditambah lagi nilai tukar USD yang setiap hari naik Rp100 otomatis beban PLN naik Rp1.2 Trilun.”

“Pertamina juga habis-habisan stock berlimpah, baik Avtur, Solar tapi gak tersalurkan. Intinya 80% dari 10 BUMN penyumbang laba terbesar akan mengalami kerugian,” ungkap Politikus PDI-P itu.

“Dimulai yang sudah kelihatan berat sekali terus akan berat mulai kuartal ke 2/2020. Terus ujungnya bahwa banyak yang rugi termasuk 90% BUMN penyumbng laba 2019 berpotensi rugi besar.”

“Akibatnya BUMN dipastikan akan turun drastis keuntungannya selama 2020, hampir semua BUMN mengalami pukulan berat,” sambungnya.

Maka dengan kondisi ini, menurutnya, BUMN harus stop bleeding, downsizing, transformasi, efisiensi dengan penghematan radikal.

Memang, kata dia, BUMN disatu sisi menjadi driver perekonomian tapi disisi lain juga harus cari untung karena tuntutan UU BUMN. “Maka dibutuhkan radical thinking (out of the box solution) disaat-saat seperti ini,” ujarnya.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan, kata dia, menunjukkan kemasyarakat bahwa BUMN ikut merasakan penderitaan rakyat.

“Punya sense of crisis, rasa prihatin. Saya usulkan agar mau dipangkas gaji direksi dan komisaris BUMN yang besar-besar tersebut. Sehingga ada empathy ke masyarakat,” tandasnya.

“Kalau dulu ganti direksi cepat, sekarang kok gaji direksi dan komisaris yang tinggi-tinggi tersebut tidak dipangkas? Kan harus punya sense of crisis, turut prihatin atas kondisi bangsa dan negara hari ini (imbas Covid-19). Perusahaan rugi, rakyat menderita, gaji direksi kok gak dipangkas,” sambungnya.

Padahal, ungkap dia, BUMN-BUMN disejumlah negara lain yang tengah hadapi Covid-19 mereka dengan sukarela memangkas gaji dan segala fasilitas lainnya demi bangsa dan negaranya.

“Temasek salahsatu BUMN milik Singapura contohnya potong gaji 25%, Singapore Airline dan banyak contoh lainnya yang mestinya ditiru. Ini kok direksi dan komisaris BUMN kita gak ada kelihatan sense of crisisnya, asyik-asyik saja seolah gak terjadi apa-apa di negara ini,” sindirnya.

Lebih lanjut Darmadi juga mempertanyakan sikap menteri BUMN Erick Thohir yang tidak segarang saat urusi kasus-kasus yang melibatkan sejumlah direksi BUMN beberapa waktu lalu. Seperti kasus Garuda, Jiwasraya.

“Menteri dikenal speednya tinggi. Ini kok jadi speednya berkurang soal ini,” sindirnya.

Ditengah kondisi publik saat ini, menurut Robert Emerson Lucas, ekonom Chicago Business School, peraih hadiah Nobel ekonomi 1995 tentang Rational Expectation, kata Darmadi mengutip, publik akan menghargai sesuatu yang dilakukan jika melampaui ekspektasi mereka.

“Jadi masyarakat akan sangat memberikan apresiasi tinggi jika Kementerian BUMN berani mengambil langkah memangkas gaji direksi dan komisaris, karena itu melampaui rational expectation mereka, apalagi jika memangkas gaji sampai 50%.” pungkasnya. {teropongsenayan}