Isu “rasisme hukum” dalam kasus kematian pria keturunan Afro-Amerika, George Floyd, oleh polisi kulit putih mengguncang banyak negara bagian AS. Gerakan ‘Black Lives Matter’ era Trayvon Martin 2013 diusung sebagai massa pendemo Pemerintahan AS.
Otoritas Universitas Indonesia menyatakan diskusi daring yang menghadirkan DPO dugaan ujaran kebencian Veronica Koman itu tidak layak.
Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, menyatakan, proses perancangan kegiatan diskusi itu tidak cermat dan proses penyelenggaraannya melanggar peraturan dan tata cara yang ditetapkan UI.
Penulis yang juga aktivis perempuan Intan Paramaditha mengecam ‘sensor’ kajian akademik di UI tersebut. Intan juga menyoal surat klarifikasi pihak UI, dengan menyebut ‘anti-akademik’.
“Malu melihat kajian akademik dijadikan dalih sensor diskusi tentang keadilan sosial. Surat arogan namun argumen rapuh, anti-akademik,” tulis Intan di akun Twitter @sihirperempuan menyertakan capture surat yang dimaksud.
Wartawan senior yang juga aktivis HAM Dandhy Laksono menyebut klarifikasi UI itu sebagai tindakan arogan.
“Arogannya UI sebagai lembaga akademik. Dua pembicara dari Papua (pengacara dan tahanan politik) serta Veronica Koman (juga pengacara) dianggap tidak layak bicara tentang hukum.”
Siapa yang bertanggungjawab atas pelarangan diskusi akademik di kampus? “Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Presiden punya andil besar menciptakan iklim yang demokratis.”
Politisi senior Rachland Nashidik, mencoba membandingkan sikap masing-masing Presiden RI terkait kasus Papua dan Aceh.
“Semua Presiden Indonesia satu sikap tentang Papua dan Aceh. Tapi ada yang memilih jalan militer dan ada yang memilih jalan damai. Soeharto dan Megawati memilih yang pertama.”
Khusus sikap Pemerintahan Jokowi pada kasus Papua, @RachlandNashidik mencatat: “Presiden Jokowi pada 2015 memberi grasi dan membebaskan lima kombatan OPM pelaku serangan ke gudang senjata di markas Kodim Wamena pada 2003.”