Selviana Wanma Ungkap Cara Kotor Singkirkan Lamberthus Jitmau di Musda Golkar Papua Barat

Musda III Golkar Provinsi Papua Barat yang dihelat di DPP Golkar Slipi Jakarta sabtu malam, (15/8/2020) dinilai tidak sah dan cacat hukum. Hal ini karena penyelenggara yang dibentuk DPD I Partai Golkar Provinsi Papua Barat telah menafsirkan dan menjalankan peraturan organisasi sesuai kehendaknya.

Tujuannya agar Lamberthus Jitmau, Ketua DPD II Partai Golkar Kota Sorong gagal menjadi Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Papua Barat. Hal ini diungkapkan Ketua DPD II Partai Golkar Raja Ampat, Selviana Wanma dalam keterangan tertulisnya kepada Golkarpedia.

Selviana menegaskan tahapan-tahapan pra Musda hingga Musda dipenuhi cara-cara kotor dan menjijikkan, yang bukan saja menciderai nalar tetapi juga melukai nurani kader-kader partai serta mempermalukan organisasi partai.

“Kesemuanya ini sekali lagi kami tegaskan adalah serangkaian pemufakatan jahat demi mencekal kader terbaik golkar papua barat, Ketua DPD II Partai Golkar Kota Sorong, Walikota periode kedua, kader yang memenangkan Partai Golkar di Kota sorong 2 kali berturut-turut, bapak Lamberthus Jitmau,” kata Selvi.

Menurut Selvi, menafsirkan dan melaksanakan peraturan organisasi berdasarkan kehendak sendiri adalah bentuk persekusi atau main hakim sendiri oleh DPD I Partai Golkar Provinsi Papua Barat. Peraturan organisasi yang semestinya berfungsi melindungi hak dan martabat kader justru dipakai untuk merampas hak-hak kader partai Golkar.

“Saat Musda dibuka dan tahapan berjalan, tiba-tiba DPD I Provinsi menyatakan ada Plt Ketua Kabupaten Sorong, Plt. Ketua Kabupaten Manokwari dengan SK Provinsi Papua Barat dan serta merta diberikan hak kepesertaan. Argumentasi DPD Provinsi adalah karena periode kepengurusan telah berakhir, padahal argumentasi tersebut tidak beralasan menurut hukum dan merupakan tafsir sesat,” tegasnya.

Masih kata Selvi, seharusnya periodesasi pengurus hasil Musda berakhir setelah Musda selanjutnya dilaksanakan dan pengurus dinyatakan demisioner, ini kebiasaan konstitusional yang menjadi hukum hidup di organisasi partai GOLKAR dan berlaku pula untuk pengurus Provinsi yang melaksanakan Musda.

Selain hukum yang hidup tadi, ada hukum tertulis yang dituangkan dalam instruksi DPP Partai GOLKAR nomor SI-03/GOLKAR/VII/2020 yang memberikan batas akhir pelaksanaan musda kabupaten paling lambat 31 Agustus 2020, mengacu pada instruksi tersebut maka DPD Kabupaten masih berwenang sampai dengan dilaksanakannya musda kabupaten susuai jadwal DPP.

Sementara untuk kasus Raja Ampat, sikap Mahkamah Partai dan DPP sebagai badan pelaksana tertinggi, memberikan hak suara kepada Ketua Selviana Wanma dalam Musda.

“Mahkamah Partai menegaskan hal itu melalui Putusan Nomor: 03/PI-GOLKAR/II/2020, dan DPP menegaskan sikapnya melalui surat nomor: B-284/GOLKAR/VII/2020. Faktanya, DPD Provinsi masih saja melawan keputusan yang lebih tinggi dan memberikan hak votters Raja Ampat kepada yang tidak berhak,” terang Perempuan Asli Papua ini.

Kecurangan lain menurut Selvi bisa dilihat dari Ketua PD AMPG yang sudah resmi dilantik pada tanggal 5 mei 2018 oleh Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi dan menjalankan organisasi. Namun kata dia, dalam Musda, hak kepesertaan justru diberikan kepada orang lain. “Semestinya Ketua DPD Provinsi punya malu jika sudah melantik tapi tidak mengakui,” kata Selvi.

Untuk kasus SOKSI, kepesertaan SOKSI memang di level nasional terjadi dualisme, SOKSI versi Ali Wongso dan SOKSI versi Ade Komarudin. Untuk kepentingan DPD Provinsi, Wasekjen yang hadir dalam Musda menyebutkan bahwa ketua umum hanya merestui SOKSI versi Ade Komarudin. SOKSI yang di SK kan Ali Wongso di Papua Barat dan mendukung Lamberthus Jitmau tidak dibiarkan masuk arena Musda.

“Pernyataan dan tindakan tersebut sangat berbahaya mengingat tidak ada keputusan resmi yang ditandatangani Ketum AH menegaskan hal tersebut dan mencatut nama ketua umum Golkar dapat merusak citra ketua umum Golkar. Padahal keputusan Munas menyatakan akan mengusung calon Presiden kedepan dari kader partai GOLKAR dan Ketum AH adalah kandidat paling kuat,” tuturnya.

Dari serangkaian persekusi yang dilakukan untuk menggembosi dukungan kepada Lamberthus Jitmau dengan melanggar hukum tertulis di Partai Golkar, Selvi mengaku Kubunya mengambil sikap tegas walkout dan meminta perlindungan hukum kepada Ketua Umum sekaligus mengklarifikasi pernyataan dan tindakan penyelenggara musda yang mengatasnamakan ketua umum.

“Puji Tuhan, Ketua umum sudah mengambil sikap bijaksana menerima kami para pemegang hak suara di hari yang sama tanggal 15 Agustus selama kurang lebih 2 jam di kediaman beliau. Hasil pertemuan kami dengan ketua umum dan wakil bidang Polhukam DPP Partai Golkar bapak Azis Syamsudin membantah seluruh narasi dan tindakan yang diambil penyelenggara atas nama Ketua Umum, ketua umum tidak pernah melegalkan cara-cara persekusi dan pihak DPD hanya mencatut nama Ketua Umum,” ujarnya.

Untuk itu, Selvi mengatakan pihaknya dengan tegas menyatakan proses dan hasil Musda yang dilaksanakan oleh DPD Provinsi Papua Barat tanggal 15 Agustus 2020 Tidak Sah karenanya tidak punya kekuatan hukum untuk diterbitkan SK oleh DPP.

“Kami terus menempuh upaya organisasi dan upaya hukum yang sesuai dengan konstitusi Partai Golkar, dan kami tetap solid 9 DPD Kabupaten, 1 organisasi sayap, 2 ormas pendiri, dan 2 ormas yang didirikan mendukung bung Lamberthus Jitmau menjadi Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Papua Barat masa bhakti 2020-2025,” pungkasnya.