UU Cipta Kerja: Pembahasannya Dipimpin Politisi Gerindra, Hasilnya Dikritik Fadli Zon

DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU. Dalam rapat paripurna DPR RI yang digelar, Senin (5/10/2020) itu, cuma dua fraksi di DPR yang kabarnya menolak UU Cipta Kerja yakni PKS dan Demokrat.

Namun, setelah diketok, anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon mengkritik UU tersebut. Ia juga meminta maaf karena tidak dapat mencegah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh DPR.

“Sebagai anggota DPR, saya termasuk yang tidak dapat mencegah disahkannya undang-undang ini,” ujar Fadli Zon dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Fadli Zon menjelaskan, dirinya bukan merupakan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang bertugas melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja sejak awal hingga disahkan.

“Selain bukan anggota Baleg, saya pun termasuk yang terkejut adanya pemajuan jadwal Sidang Paripurna kemarin, sekaligus mempercepat masa reses. Ini bukan apologi, tapi realitas dari konfigurasi politik yang ada. Saya mohon maaf,” kata Fadli Zon.

Fadli Zon menilai, omnibus law Cipta Kerja menjadi preseden buruk bagi demokrasi karena beberapa alasan. Pertama, kata Fadli, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya.

Di mana, undang-undang tersebut mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda.

“Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit,” ucapnya.

“Sehingga, yang kemudian terjadi parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan Pemerintah,” sambungnya.

Kedua, omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat, karena membahas seluruh materi dalam tempo yang singkat di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi.

“Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat,” tuturnya.

Terakhir, Fadli menyebut omnibus law ini bisa memancing instabilitas, karena massifnya penolakan buruh dan mogok nasional.

“Ini menunjukkan omnibus law hanya akan melahirkan kegaduhan saja. Kalau terus dipaksa untuk diterapkan, ujungnya sudah pasti hanya akan merusak hubungan industrial,” kata Fadli Zon.

Pembahasan dipimpin Gerindra

Sebagai informasi, jauh sebelum disahkan di rapat paripurna DPR, RUU Cipta Kerja telah melalui proses panjang di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Di Baleg DPR, seluruh proses pembahasan RUU dilakukan sejak diajukan hingga dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui.

Umumnya rapat paripurna DPR tinggal mengesahkan RUU yang disetujui di Bale DPR. Lalu siapa yang mengkoordinir pembuatan RUU Cipta Kerja di Baleg DPR. Dialah Supratman Andi Agtas.

Dia adalah politikus asal Sulawesi Selatan yang lahir di Soppeng, pada 28 September 1969. Politikus Partai Gerindra yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI 2014-2019.

Pada Pemilu 2014, Supratman Andi Agtas berhasil melenggang ke Senayan, mewakili Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah. Pada Pemilu 2019, dia terpilih lagi jadi anggota DPR.

Sindiran Yunarto Wijaya

Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya menyinggung kritik Fadli Zon terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. Yunarto Wijaya berpendapat kritik Fadli Zon terhadap UU Cipta Kerja hanya sebatas akting saja. Diketahui bersama Fadli Zon menganggap UU Cipta Kerja tidak tepat sasaran.

TribunnewsBogor.com melansir Kompas.com, Mengutip data World Economic Forum (WEF), Fadli memaparkan kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan.

“Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).

Menurutnya, pekerja/buruh yang saat ini dalam posisi sulit akibat dampak pandemi Covid-19 kian terpojok.

Fadli berpendapat, kepentingan dan suara masyarakat dalam pembentukan UU Cipta Kerja justru terpinggirkan. Fadli mencatat sejumlah isu yang menjadi pokok penolakan pekerja/ buruh

“Dalam catatan saya, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.”

“Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi),” tuturnya.

Kemudian, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu dihapus dalam UU Cipta Kerja. {tribun}