Kecewa Setahun Jokowi-Ma’ruf Amin, Ernest Prakasa: Salah Saya, Ekspektasi Terlalu Tinggi

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin genap memasuki satu tahun masa kerja pada 20 Oktober 2020. Dalam rentang waktu satu tahun ini, banyak banyak dinamika yang terjadi, khususnya soal kebijakan publik.

Bahkan, aksi demonstrasi menentang sejumlah kebijakan pemerintah terjadi di berbagai kota secara masif.

Selain itu, pukulan telak pandemi Covid-19 yang menjadi masalah global tak luput juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya mewujudkan visi-misinya.

Komedian Ernet Prakasa secara terang-terangan mengaku kecewa dengan kinerja pemerintahan Jokowi periode kedua ini. Ia mengatakan bahwa ekspektasinya terlalu tinggi terhadap pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin.

Diakuinya, kekecewaan ini bukanlah kesalahan Presiden Jokowi, melainkan karena kesalahannya sendiri yang berharap terlalu tinggi. Hal ini diungkapkan Ernest Prakasa lewat sebuah cuitan di akun Twitternya.

“Satu tahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Saya sih kecewa. Mungkin ekspektasi terlalu tinggi juga ya, jadi sebenernya bukan salah Jokowi tapi salah saya sendiri,” tulis Ernest Prakasa.

Berikut penilaian sejumlah tokoh terkait kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin selama satu tahun terakhir:

1. Penilaian Fadli Rocky Gerung Terhadap Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf

Pengamat politik Rocky Gerung memberikan penilaiannya terkait satu tahun kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Hal ini diungkapkan Rocky Gerung saat menjadi narasumber pada acara Mata Najwa edisi Rabu (21/10/2020).

Saat itu sang pembawa acara, Najwa Shihab, menanyakan berapa skor yang diberikan Rocky Gerung terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Secara cepat Rocky Gerung mengatakan bahwa dirinya memberikan nilai A minus. “Satu tahun Jokowi Maruf, skor kinerja pemerintahan saat ini berapa Bang Rocky Gerung?” tanya Najwa Shihab.

“Kasih huruf aja deh, A minus,” jawab Rocky Gerung.

Rocky Gerung lantas menjelaskan nilai A minus yang diberikan itu maksudnya adalah A untuk kebohongan dan minus untuk kejujuran pemerintah.

“A minus, itu skalanya yang paling bagus atau yang paling jelek, harus jelas dulu ini,” ujar Najwa Shihab.

“A minus itu, A buat kebohongan, minus untuk kejujuran,” jawab Rocky Gerung.

Rocky Gerung menjelaskan bahwa saat ini rakyat tengah berupaya untuk memahami pemerintah dengan cara menitipkan harapan mereka.

Namun, harapan tersebut dihancurkan dengan munculnya artikel yang menuliskan bahwa kepuasan terhadap pemerintah Jokowi telah hilang.

“Karena publik sekarang berupaya untuk memahami logic dari government ini, yaitu menitipkan harapan, tapi tiba-tiba dibatalkan oleh dua caption di koran Kompas kemarin yang menyatakan kepuasan hilang,” papar Rocky Gerung.

Padahal menurut pengetahuannya, ada survey yang mengungkapkan bahwa kepuasan terhadap pemerintah Jokowi mencapai 60 persen. Namun, saat ini faktanya kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah Jokowi di bawah 50 persen.

“Padahal di bulan Agustus saya masih baca SMRC bikin polling, kepuasannya 60 persen, sekarang di bawah 50 persen. Ini tahun pertama loh udah hilang, itu sama seperti malam pertama kepercayaannya udah hilang, mestinya perkawinannya bubar,” ungkap Rocky Gerung.

Meski demikian, sejumlah rakyat masih memiliki harapan kepada pemerintahan Jokowi. Dengan begitu rakyat berharap tak ada kerusuhan yang terjadi.

“Tapi ada semacam orang indonesia bilang, ya mudah-mudahan masih bisa lanjut, itu adalah situasi psikologis publik supaya nggak ada kerusuhan mudah-mudahan Pak Jokowi masih berlanjut.”

“Dan sociological fact-nya menyatakan di bawah 50 persen itu kita mau maki-maki dan sebagainya, kalau di Eropa perdana menteri sudah turun,” terang Rocky Gerung.

“Saya percaya akan ada bantahan, tapi Kompas adalah koran yang mendukung presiden bahkan dia bikin begitu, itu artinya yang lain di bawah Kompas, jadi kalau ada yang di atas Kompas itu saya sebut sebagai kebohongan,” pungkas Rocky Gerung.

2. Penilaian Fadli Zon Terhadap Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf

Politisi Partai Gerindra Fadli Zon turut menyoroti satu tahun kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Seperti diketahui tepat pada hari Selasa (20/10/2020), pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin genap berjalan satu tahun.

Selama satu tahun itu pula banyak kebijakan yang mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Fadli Zon.

Secara blak-blakan Fadli Zon mengungkapkan bahwa selama pemerintahan Presiden Jokowi banyak kemunduran yang terjadi di Indonesia.

Lantas, Fadli Zon mengatakan bahwa ada empat beban berat yang bobotnya kian besar selama pemerintahan Presiden Jokowi.

“Kalau diminta menilai perjalanan setahun terakhir, apalagi enam tahun terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, cukup jelas saya melihat ada banyak sekali kemunduran yg telah kita alami,” tulis Fadli Zon di akun Twitternya.

“Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo @jokowi, rakyat dan negara sama-sama memikul beban yang kian berat.”

“Saya mencatat, ada empat beban berat yang bobotnya kian besar selama pemerintahan Presiden @jokowi berlangsung,” papar Fadli Zon.

Yang pertama adalah beban utang. Menurut Fadli Zon, selama kepemerintahan Presiden Jokowi utang Indonesia bukan semakin menyusut, malah semakin naik.

Bahkan saat ini Indonesia menempati urutan ke-6 negara dengan utang tertinggi.

“Pertama, adalah beban utang. Akibat miskalkulasi, mismanajemen, serta kerja-kerja pembangunan tuna konsep, Indonesia kini harus menanggung beban utang yg sangat berat,” ujarnya.

“Mengutip laporan Bank Dunia, “International Debt Statistics 2021” utang luar negeri Indonesia saat ini menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara-negara berpendapatan menengah dan rendah,” ungkap Fadli Zon.

Yang kedua adalah beban hukum. Fadli Zon menguraikan bahwa kerusakan tatanan hukum di era pemerintahan Presiden Jokowi sangat kasat mata.

Sebagai contohnya adalah penerbitan omnibus law UU Cipta Kerja yang langsung memangkas 79 undang-undang lainnya di berbagai sektor yg berlainan.

Ia menilai bahwa penerbitan regulasi ini bukanlah terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum.

“Kedua, adalah beban hukum. Kerusakan tatanan hukum di era pemerintahan sekarang ini sangat kasat mata. Dulu, di periode pertama, kita pernah disuguhi 16 paket kebijakan hukum dan ekonomi.

Kini, di tahun pertama periode kedua, kita disuguhi omnibus law Cipta Kerja, satu undang-undang sapujagat yg langsung memangkas 79 undang-undang lainnya di berbagai sektor yg berlainan.

Sy melihat pola penerbitan regulasi semacam itu bukanlah bentuk terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum. Sejauh yg bisa saya pelajari, omnibus law di negara lain paling banyak mengubah 10 undang-undang,” ujar Fadli Zon.

Lantas yang ketiga adalah beban perpecahan. Fadli Zon menjelaskan bahwa di periode pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua, pemerintah masih bermain-main dengan isu sensitif keagamaan.

Salah satu contohnya adalah ucapan Menteri Agama Fachrul Razi yang membuat umat Islam marah.

“Ketiga adalah beban perpecahan. Di periode kedua ini, pemerintah masih bermain-main dengan sejumlah isu sensitif keagamaan.

Menteri Agama, misalnya, berkali-kali membuat umat Islam marah karena sejumlah ucapan dan kebijakannya. Pancasila, yg seharusnya menjadi alat pemersatu, melalui draf RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) malah membuat marah banyak orang,” tambahnya.

Menurut Fadli Zon, di periode kedua ini, seharusnya Presiden Jokowi belajar membangun pemerintahan yang berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi.

“Seharusnya di periode kedua ini Presiden @jokowi belajar membangun pemerintahan yg berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi,” ucapnya.

Fadli Zon menilai bahwa hanya Presiden Jokowi yang tidak memiliki beban di periode dua kepemimpinannya tersebut. Di sisi lain, beban yang dihadapi rakyat justru bertambah banyak.

“Tahun lalu, Presiden @jokowi mengatakan bahwa ia tak punya beban apapun di periode kedua pemerintahannya. Sayangnya, yg merasa tak punya beban sepertinya hanyalah Presiden. Sementara, rakyat dan negara bebannya justru kian bertambah,” pungkas Fadli Zon. {tribun}