PKS Tak Setuju Perbaikan UU Cipta Kerja Lewat Distribusi II, Ini Alasannya

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju perbaikan kesalahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) melalui mekanisme Distribusi II. Sejak disahkan dalam Rapat Paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditemukan banyak kesalahan dalam naskah UU tersebut.

Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengatakan, kejadian ini tidak sekadar salah ketik. Alan tetapi, perlu dimaknai sebagai hasil dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan, tergesa-gesa, mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

“Berbagai wacana bermunculan untuk memperbaikinya, salah satunya dengan Distribusi II,” ujar Mardani melalui akun twitter @MardaniAliSera, Jumat (13/11/2020).

“Meskipun dianggap cepat dan efisien, cara ini berpotensi menimbulkan masalah baru karena tidak dikenal dan diatur dalam UUD 1945 atau UU Nomor 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tambahnya lagi.

Dia mengatakan, jika opsi Distribusi II diambil, justru menunjukkan pengabaian terhadap asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Ketatnya tahapan pembentukan UU merupakan cermin agar para pembentuk UU teliti dan hati-hati dalam merumuskannya.

“Bahkan, perubahan titik koma dalam draf RUU yang sudah disetujui dalam rapat paripurna merupakan bentuk nyata pelanggaran substansi. Terlebih jika perubahan yang dilakukan setelah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Tidak bisa main-main, harus dipertanggungjawabkan secara moral dan konstitusional,” tegas Mardani.

Lulusan Universitas Indonesia (UI) menyatakan, pasal-pasal yang terbukti salah tidak bisa dilaksanakan. Tidak boleh suatu pasal diterapkan sesuai dengan imajinasi dari yang menggunakan. Penerapannya harus sesuai dengan apa yang tertera dalam UU.

Kejadian ini, menurutnya, memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mardani menerangkan, penyusunan suatu UU merupakan persoalan sistem ketatanegaraan, bukan masalah teknis administrasi semata.

“Harus melalui berbagai mekanisme ketatanegaraan. Kontroversi yang terus berulang ini juga menunjukkan masih lemahnya proses penyusunan UU,” tuturnya.

Ke depan, Mardani menyarankan pemerintah untuk memiliki ahli yang menguasai pengetahuan dan ilmu paripurna mengenai hal-hal teknis perundang-undangan. “Yang tidak hanya ahli di permukaan saja, tapi benar-benar menguasai penyusunan pasal maupun ayat sebuah UU,” pungkasnya. {sindo}