Tekno  

Dakwah Digital, Cara Kreatif Syiar Islam Ke Khalayak Muslim Milenial

oleh Ani Nursalikah*

Situasi pandemi memaksa manusia mengubah total cara hidupnya hampir selama setahun terakhir. Cara berinteraksi sesama manusia berubah dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Manusia yang dikenal sebagai makhluk sosial kini justru diharuskan menjaga jarak dari sesamanya. Semua itu sebagai ikhtiar menjaga tubuh dari paparan virus Covid-19.

Cara berdakwah pun berubah. Namun, berkurangnya interaksi fisik bukan jadi alasan dakwah mengendur.

Sejak maraknya media sosial, sebenarnya sejumlah pendakwah pun telah memanfaatkan platform tersebut. Namun, dengan merebaknya pandemi, dakwah digital tampaknya menjadi solusi.

Apalagi, pilihan media untuk menjadi sarana menyebarkan kebaikan makin beragam. Dari yang tidak berbayar alias gratis, seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan Youtube, hingga yang berbayar lewat Zoom, Google Meet atau platform konferensi video lainnya. Masing-masing platform pun memiliki penikmatnya sendiri.

Berdakwah melalui media digital sebetulnya justru menjangkau khalayak yang lebih luas. Dakwah tidak lagi konservatif yang terbatas pada majelis di masjid atau mushala. Umat Muslim di belahan dunia lain pun bisa mengikutinya. Inilah dunia baru.

Di sisi lain, di sinilah juga menjadi proses seleksi alam. Siapa yang mampu beradaptasi, dialah yang bertahan. Pendakwah dan organisasi masyarakat dituntut lekas mengikuti perubahan.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, salah satu tantangan berdakwah yang dihadapi saat ini adalah masalah penguasaan teknologi digital, baik dalam bentuk media sosial maupun lainnya.

“Sebab sistem dakwah melalui teknologi digital akan lebih efektif dan lebih memungkinkan masyarakat menyimak dakwah kapan saja, di mana saja, dan waktunya pun lebih fleksibel,” ujar Ma’ruf saat menghadiri webinar Universitas Brawijaya bertajuk ‘Peran Santri di Era Digital Menghadapi Radikalisme dan Perubahan Global, November lalu.

Ia menilai dakwah digital ini sebagai alat dakwah masa kini dan masa depan. Terutama untuk generasi milenial dan generasi Z yang kesehariannya tidak terlepas dari penggunaan media digital.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyampaikan, platform digital saat ini menjadi sarana utama dalam berdakwah di tengah pandemi Covid-19.

Terlebih, menurut dia, masyarakat mulai terbiasa dengan dakwah yang disampaikan secara digital.

Ketua Himpunan Da’i Muda Indonesia, Habib Idrus Bin Salim Al-Jufri menyebut seorang dai dan daiyah saat ini perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang penguasaan teknologi informasi.

Sangat disayangkan, jika seorang dai yang memiliki ilmu, tetapi tidak tersampaikan kepada masyarakat.

Studi pada Februari 2019 yang dilakukan Pusat Studi Agama dan Budaya (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, Muslim milenial menganggap dakwah atau kajian di masjid tak lagi relevan dengan persoalan mereka.

Temuan UIN Jakarta yang diterbitkan dalam buku berjudul ‘Masjid di Era Milenial: Arah Baru Literasi Keagamaan’ menyebut, anak-anak muda tidak lagi tertarik dengan konten dakwah yang disampaikan di masjid.

Sedangkan, hasil penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bertajuk “Memperkuat Ketahanan Kampus Sebagai Ujung Tombak Nilai-Nilai Kebangsaan” menunjukkan 31,94 persen responden mengakses Youtube.

Sebanyak 17,02 persen mengakses laman Muslim, 10,21 persen mengakses Era Muslim, 6,81 persen mengakses laman NU dan sisanya beragam.

Penelitian yang melibatkan 27 dosen sepanjang Desember 2018 hingga Maret 2019 tersebut juga menjelaskan sebagian besar responden tidak memiliki afiliasi pada organisasi kemahasiswaan dan keagamaan.

Penelitian seperti ini rasanya perlu dilakukan lagi untuk mengkaji perilaku masyarakat terhadap dakwah digital di era pandemi 2020.

Media and Religious Trend in Indonesia (Merit) Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta merilis hasil penelitian pada November 2020 bahwa paham moderat cenderung diam di media sosial. Sedangkan paham konservatif lebih aktif bersuara di media sosial.

Hasil penelitian bertema “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” itu mengonfirmasi dominasi konservatisme agama di dunia maya adalah aktor sentral dalam konstruksi narasi keagamaan di media sosial.

Media sosial dikuasai oleh akun-akun yang cenderung berpaham islamis dan konservatif. Akun tersebut memiliki potensi viralitas tweet keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang moderat.

Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama, Prof Adlin Sila menilai kelompok moderat harus lebih terampil supaya tidak kalah aktif di media sosial oleh kelompok konservatif.

Akses, kualitas, dan mahalnya biaya internet masih jadi kendala besar dalam dakwah digital. Di kota pun akses internet yang lancar dan terjangkau belum sepenuhnya merata.

Masih ada wilayah tertentu dimana kualitas internet belum memadai. Kendala itu terutama sangat dirasakan di perdesaan. Belum lagi, warga perdesaan memiliki kultur yang terbiasa menghadiri kajian secara tatap muka.

“Mereka (para dai di daerah) juga bisa dikatakan untuk (memenuhi kebutuhan) hidup saja agak susah (apalagi untuk membeli kuota internet untuk keperluan dakwah),” kata Ketua Umum Ikadi Prof KH Achmad Satori Ismail kepada Republika.co.id, September lalu.

Lembaga dakwah baik milik pemerintah maupun masyarakat bisa membantu para pendakwah dengan memberi pelatihan cara berdakwah kreatif secara daring.

Pemerintah dan swasta juga bisa memperbanyak akses jaringan Wi-fi gratis di tempat publik. Yang tidak kalah penting adalah membuat harga kuota internet terjangkau bagi masyarakat.

Selain itu, pemilihan materi juga sangat penting. Topik kontemporer dan mendalam diulas secara mendalam dengan bahasa yang sederhana dan singkat sehingga mudah dipahami umat. {republika}