News  

Survei Indo Barometer: Soeharto Presiden Paling Disukai, Megawati Paling Buncit

SOEHARTO menjadi Presiden yang paling disukai di antara 6 Presiden Indonesia lainnya. Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, Soeharto menjadi Presiden yang paling disukai dengan persentase sebesar 23,8 persen.

Hal itu ia sampaikan saat sesi pemaparan hasil Survei Nasional ‘Mencari Pemimpin: Road to Capres dan Parpol 2024’, di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta, Minggu (23/2/2020) siang.

“Dalam sejarah Republik Indonesia sampai dengan saat ini, dari sebanyak 7 nama Presiden, Soeharto yang paling disukai,” ungkap Qodari.

Di urutan kedua, publik menyukai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan persentase sebesar 23,4 persen.

Kemudian, Soekarno (23,3 persen), Susilo Bambang Yudhoyono/ SBY (14,4 persen), BJ Habibie (8,3 persen), Abdurrahman Wahid (5,5 persen), dan terakhir Megawati Sukarnoputri (1,2 persen).

Qodari menjelaskan, angka itu didapat dari pertanyaan tertutup (tidak ada pilihan) kepada sebanyak 1.200 responden di seluruh Indonesia.

“Dalam sejarah, Indonesia saat ini tercatat mempunyai 7 presiden (Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo).”

“Dari ketujuh nama Presiden tersebut, manakah yang paling Bapak/Ibu/Saudara sukai?” begitu bunyi pertanyaan Indo Barometer kepada responden.

Qodari menjelaskan, Soeharto dianggap sebagai Presiden paling disukai karena dikenal dengan beberapa keberhasilanya di sektor-sektor publik.

Di antaranya dalam bidang pendidikan, misalnya Soeharto dikenal karena membangun SD Inpres. Di bidang kesehatan membangun puskesmas, serta membangun perumahan rakyat (Perumnas) di seluruh Indonesia.

Soeharto juga dianggap mampu menjaga stabilitas harga pangan. Qodari menambahkan, Soeharto pun dianggap berjasa membangun infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan lainnya.

Namun, Qodari mengatakan kelemahan Soeharto adalah minimnya proses demokrasi. “Hanya saja kekurangannya adalah minimnya kebebasan dan demokrasi,” ucapnya.

Anies Baswedan Paling Dikenal

Hasil survei Indo Barometer menunjukkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah kepala daerah yang paling dikenal untuk menjadi calon presiden pada Pilpres 2024.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, kepala daerah dengan tingkat pengenalan tertinggi adalah Anies Baswedan, dengan tingkat pengenalan sebesar 91,7 persen

Hal itu ia sampaikan pada sesi pemaparan hasil Survei Nasional “‘encari Pemimpin: Road to Capres dan Parpol 2024’, di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta, Minggu (23/2/2020) siang.

“Anies Baswedan menjadi kepala daerah yang paling dikenal, yakni 91,7 persen, meskipun populasi DKI Jakarta hanya 4 persen dari populasi nasional,” ungkap Qodari.

Qodari menjelaskan, satu di antara faktor Anies Baswedan sangat dikenal publik, karena statusnya sebagai Gubernur di Ibu Kota Negara dan pusat media massa, khususnya televisi.

“Liputan kepada Gubernur DKI Jakarta sangatlah tinggi, sehingga praktis menjangkau seluruh penduduk Indonesia.”

“Dari sinilah antara lain timbul istilah Gubernur DKI Jakarta adalah gubernur rasa presiden,” imbuhnya.

Setelah Anies Baswedan, kepala daerah yang cukup dikenal adalah Gubernur Jawa Barat Mochamad Ridwan Kamil sebesar 65,8 persen. Kemudian, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sebesar 55,8 persen.

Di posisi keempat ditempati Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebesar 49,4 persen, disusul Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebesar 47,8 persen. Lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah sebesar 10,7 persen.

Survei nasional ini digelar pada 9 sampai 15 Januari 2020. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan 1.200 responden. Margin of error sebesar ± 2.83 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner.

Responden survei adalah warga negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih, yaitu warga yang minimal berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah pada saat survei dilakukan.

Berhenti, Bukan Mundur

Putri sulung Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, mengungkapkan proses sang ayah turun takhta pada tahun 1998 silam.

Perempuan yang kerap disapa Mbak Tutut ini mengatakan, ayahnya saat itu bukan mengundurkan diri sebagai Presiden, melainkan berhenti bertugas sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Hal itu disampaikan Tutut saat ditemui di sela penyerahan arsip Soeharto di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (18/7/2019).

“Saya koreksi, bukan mundur, tapi berhenti. Bapak (Soeharto) pakai istilah berhenti. Beliau (Soeharto) cari kata berhenti di UUD 1945,” ungkapnya.

Ia beralasan, penggunaan diksi berhenti dinilai sang ayah lebih tepat ketimbang mengundurkan diri.

Pandangan ayahnya, diksi mundur diartikan belum selesai bertugas dan tidak bertanggung jawab pada pekerjaan.

Sedangkan diksi berhenti melakukan pekerjaan, namun pemberi kerja sudah tidak percaya lalu diberhentikan.

“Beliau (Soeharto) katakan, kalau disebut mengundurkan diri, berarti belum selesai bertugas, sudah mundur, itu artinya enggak tanggung jawab.”

“Tapi kalau berhenti, sedang kerja, yang mempekerjakan itu tidak percaya, maka berhenti. Jadi istilah itu diterapkan, bukan mengundurkan diri, tapi berhenti,” ulas Tutut.

Tutut juga menceritakan, sang ayah pada tahun 1998 tak ingin memaksakan diri untuk terus memimpin, lantaran tak ingin ada lagi korban yang berjatuhan.

“Terus kalau ditanya, kenapa tidak terus memimpin? Dijawab kalau saya terus, berarti akan banyak remaja dan generasi yang jadi korban. Karena itu sudah tidak dipercaya lagi kok memaksakan diri, lebih baik berhenti. Jadi biar generasi lain yang teruskan,” tuturnya.

Soeharto mengumumkan berhenti sebagai Presiden, pada 21 Mei 1998. Pidato Soeharto berhenti dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.

Berikut ini isi pidato lengkap Soeharto saat berhenti sebagai Presiden:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita.

Terutama, aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut.

Dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional, demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional.

Saya telah menyatakan pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945. Dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya.

Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Yang juga adalah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pagi ini pada kesempatan silaturahmi.

Sesuai dengan pasal 8 Undang-undang Dasar 45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof Dr Ing BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998–2003.

Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya.

Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45-nya.

Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner, dan pada para menteri saya ucapkan terima kasih.

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat.

Maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jakarta, 21 Mei 1998.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO. {tribun}