Deretan Partai Ini Tolak Tax Amnesty Jilid II Kecuali Golkar

Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ramai-ramai menolak adanya wacana tax amnesty Jilid II. Hanya Fraksi Golkar yang sampai saat ini menyetujui adanya pelaksanaan tax amnesty jilid II.

Secara garis besar, mereka ragu pelaksanaan Tax Amnesty Jilid II bisa berhasil dilaksanakan, mengingat pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I 2016 silam telah dinilai gagal.

Beberapa fraksi menolak, dan justru mempertanyakan bagaimana evaluasi dari pelaksanaan tax amnesty jilid I. Sementara beberapa fraksi belum memberikan komentar dan saat ini baru Fraksi Golkar yang memberikan persetujuan adanya Tax Amnesty Jilid II.

Seperti diketahui, wacana adanya Tax Amnesty Jilid II pertama kali terucap dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada pekan lalu.

Padahal program amnesti pajak belum pernah dibahas sebelumnya dalam rapat-rapat antara pemerintah dan DPR. Maka dari itu, banyak pihak yang heran mengapa program pengampunan pajak ini kembali mengemuka.

Belum adanya pembicaraan pemerintah dengan DPR mengenai tax amnesty dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara. “Wacana tax amnesty jilid II belum pernah disampaikan oleh pemerintah kepada Komisi XI,” ujar Amir Uskara kepada CNBC Indonesia, Senin (24/5/2021).

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan apabila tax amnesty jilid II dijalankan, dinilai akan mengingkari komitmen UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang mengatur bahwa pelaksanaan tax amnesty hanya diberlakukan satu kali.

“Kami tidak setuju dengan wacana tax amnesty Jilid II sebagaimana beredar. Pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak,” jelas Andreas melalui siaran resminya, dikutip Senin (24/5/2021).

Seperti diketahui pada pelaksanaan tax amnesty jilid I tersebut, telah diterapkan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya 3 tahun dan mendapatkan pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya.

“Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko,” jelas Andreas.

Lagi pula, menurut Andreas Tax Amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah, kata Andreas harus terus fokus melakukan reformasi perpajakn dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.

Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel, menurut Andreas bisa menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang memberlakukan tax amnesty.

Senada, Anggota Komisi XI DPR fraksi PKS Anis Byarwati memandang, apabila tax amnesty jilid II dijalankan, maka wajib pajak berpotensi akan kecewa, karena mereka tidak diuntungkan dari kebijakan ini. Sehingga pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan pajak di masa yang akan datang.

“Dari sini kita dapat melihat bahwa sekarang justru bukan saat yang tepat untuk melakukan tax amnesty,” ujarnya kepada CNBC Indonesia.

“Jangan sampai adanya tax amnesty jilid II ini membuat rakyat kembali tercederai rasa keadilannya. Sebagaimana pernah terjadi pada mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak, yang seolah diabaikan dengan kebijakan Tax Amnesty di tahun 2016 lalu,” kata Anis melanjutkan.

Gerindra dan Nasdem Minta Pemerintah Berkaca dari Tax Amnesty Jilid I

Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra Kamrussamad memandang tax amnesty merupakan jalan pintas yang belum tentu memberikan solusi yang tepat dalam penerimaan negara.

Pasalnya pengalaman tax amnesty jilid I pada 2016-2017 silam dilakukan saat ekonomi sedang tumbuh positif. Namun, implementasinya gagal memenuhi target.

Hal itu terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi wajib pajak yang hanya mencapai 956 ribu, sementara SPT wajib pajak saat ini ada 20,1 juta dan pemilik NPWP mencapai 32,7 juta orang.

“Rendahnya angka repatriasi senilai Rp 147 triliun sekitar 3%. Sementara kontribusi terhadap penerimaan juga rendah senilai Rp 135 triliun yang terdiri dari tebusan Rp 114 triliun, tunggakan Rp 18,6 triliun,” jelas Kamrussamad kepada CNBC Indonesia, Senin (24/5/2021).

Gagalnya tax amnesty jilid I, kata Kamrussamad juga bisa dilihat dari segi impact terhadap rasio penerimaan pajak tahun berikutnya yaitu tahun 2017, justru turun menjadi 9,89% dibandingkan 2016 yang sebesar 10,36%.

Dan terus menurun pada 2020, tax ratio hanya mencapai 7,9%. Sementara target tax ratio pada 2021 diharapkan bisa mencapai 8,18%.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu melakukan reformasi fundamental regulasi perpajakan secara sungguh-sungguh dan menyeluruh. Kemudian bangun kepercayaan WP dengan memberikan jaminan zero korupsi di perpajakan.

“Optimalkan penggalian Potensi PPH Pasal 25, 29 dan Pasal 23 untuk Barang impor dan konsultan Asing dalam Pembangunan infrastruktur. Implementasikan Kesepakatan Pertukaran data otomatis yg sdh diteken antar Negara melalui AEoI untuk mengejar WP di luar negeri,” jelas Kamrussamad.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Anggota Komisi XI Fraksi Nasional Demokrat Willy Aditya. Tax amnesty jilid I, sudah selesai dilakukan, maka kata Willy pemerintah perlu menyampaikan bagaimana evaluasi pelaksanaan tax amnesty jilid I.

“Kita tahu juga ternyata yang banyak mengikuti justru yang hartanya dibawah Rp 100 Juta. Milyarder yang semestinya menjadi penyumbang besar, justru nyatanya lebih kecil sumbangannya. Selama evaluasi ini belum komprehensif saya kira hal ini yang lebih punya urgensi,” jelas Willy kepada CNBC Indonesia.

“Hal ini yang perlu dipikirkan caranya bagaimana meningkatkan kontribusi dari para milyuner agar kekayaan mereka dapat produktif dan memberi manfaat dalam pemerataan kesejahteraan masyarakat,” kata Willy melanjutkan.

Anggota DPR Komisi XI Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun menjelaskan upaya tax amnesty jilid II ini merupakan upaya konkret pemerintah dalam meningkatkan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto. Saat ini menurutnya tax ratio murni Indonesia masih kecil di angka 6,5%.

“Kalau nanti mempengaruhi pajak-pajak yang patuh, itu kan permasalahannya di dirjen pajak, supaya perdebatan bukan jadi perdebatan teknis semata, tetapi kita ada urgensi nasional maka tax amnesty jilid II merupakan pilihan pahit dan sulit untuk mengatasi shortfall pajak kita,” jelasnya dalam Power Lunch CNBC Indonesia, Jumat (21/5/2021).

Misbakhun meyakini jika tax amnesty jilid II dijalankan, orang akan banyak yang mengikuti kembali program ini. Melihat pada penerapan jilid pertama banyak orang yang tidak ikut karena pertimbangan ragu – ragu dan belum familiar.

“Asalkan pelaksanaan tax amnesty bisa dilakukan dengan durasi pelaksanaan yang lebih panjang dari jilid pertama, orang yang tidak yakin pada periode kedua akan ikut, pengusaha yang ketakutan menunjukkan hartanya..,” jelasnya.

Sementara Wakil Ketua Komisi XI DPR fraksi PPP Amir Amir Uskara enggan memberikan komentar lebih lanjut mengenai wacana Tax Amnesty Jilid II tersebut.

“Saya belum sempat melihat draft dari pemerintah, apa betul akan memasukkan tex Amnesty dalam RUU KUP yang akan dibicarakan bersama DPR, karena dalam UU 11 tahun 2016 sudah ditetapkan hanya berlaku satu kali dan mereka tidak memanfaatkan dikenakan denda 200% apabila masih ada aset tahun 2015 ke bawah yang tidak dilaporkan,” jelas Amir kepada CNBC Indonesia.

CNBC Indonesia juga mencoba menanyakan tanggapan kepada Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKB Fathan dan Anggota Komisi XI DPR fraksi Demokrat Vera Febyanthy. Namun keduanya belum memberikan pandangan. {cnbcindonesia}