Rasio Utang Tembus 369 Persen, BPK Takut Indonesia Tak Bisa Bayar Utang Rp.6.527 Triliun

Petugas menata tumpukan uang kertas saat melakukan persiapan pengisian ATM di cash center PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), Jakarta, Kamis (20/12/2018). Demi optimalisasi layanan selama libur Natal 2018 dan Tahun Baru 2019, BNI menyiapkan uang tunai rata-rata sebesar Rp16,6 triliun per minggu untuk memenuhi kebutuhan uang tunai di mesin ATM dan outlet. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI khawatir pemerintah Indonesia tidak bisa membayar utang. Pasalnya, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 90-150 persen.

“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar,” tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020, Rabu (23/6).

Sebagai catatan, per April 2021, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen terhadap PDB.

BPK juga memberikan catatan terhadap indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen yang telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5441- debt indicator yakni di bawah 0 persen.

“Pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal,” jelas BPK.

Selain itu, hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen.

“Melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen,” papar BPK. Selain itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan telah mencapai 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 7-10 persen. {cnn}