News  

PTPN V Berupaya Hilangkan Barang Bukti, SETARA Institute Harap KPK Segera Bertindak

Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pejabat PT Perkebunan Nusantara V (PTPN-V), diharap Tim Advokasi Keadilan Agraria SETARA Institute, bisa segera ditindaklanjuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tim Advokasi Keadilan Agraria SETARA Institute bersama perwakilan petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, telah melaporkan sejumlah pejabat PTPN V ke KPK pada Selasa (25/5) lalu.

Dugaan korupsi yang dilaporkan adalah pembiaran lahan 500 hektar yang diserahkan oleh Koperasi kepada negara melalui PTPN V sebagai upaya memenuhi kewajiban dilaksanakannya kerjasama pembangunan kebun.

“Oleh PTPN V, lahan tersebut dibiarkan dan sengaja tidak dibukukan sebagai kekayaan negara sehingga beralih kepemilikan dan menimbulkan kerugian negara,” ujar Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria, Disna Riantina dalam keterangannya yang diterima redaksi, Sabtu (26/6).

Akibat tindakan tersebut, kata Disna, negara dirugikan kurang lebih Rp 134 miliar.

Menurutnya, klaim beberapa pihak bahwa PTPN V menjadi avalist atau penjamin Koperasi dalam pengambilan kredit pembangunan kebun adalah menyesatkan, dan bagian dari upaya menutupi dugaan praktik korupsi yang akut di tubuh PTPN V.

Hal yang sebenarnya terjadi, masih kata Disna, adalah PTPN V gagal membangun kebun, mengelola kredit secara tidak akuntabel dan sarat dengan korupsi, lalu menutupi kredit itu dari uang negara yang dikelola PTPN V.

“Di sinilah letak korupsi yang dilakukan PTPN melalui akal-akalan menjadi Bapak Angkat para petani dalam skema Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA),” ungkapnya.

Bukan hanya Kopsa M yang menjadi korban, lebih dari 10 koperasi menjadi korban buruknya kinerja perusahaan perkebunan milik negara ini. Terbaru, PTPN V baru saja merampas 150 hektar lahan milik masyarakat adat Pantai Raja, Kampar.

“Jadi, dalam kasus yang dilaporkan oleh SETARA Institute ke KPK, pangkal soalnya adalah pembangunan kebun gagal, kredit dikelola secara tidak benar dan pembengkakan utang yang disengaja untuk menjerat petani menyerahkan tanah-tanah yang tersisa kepada PTPN V,” kata dia.

Menurut Disna, sudah lebih dari 15 tahun uang negara dihamburkan PTPN V untuk menutupi perbuatannya yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab dalam skema kerjasama dengan petani. Sehingga, selain RP 134 miliar di atas, negara juga dirugikan sebesar Rp182.980.600.000 hingga 2023 nanti.

“Saat ini PTPN V sedang sibuk memutarbalikkan fakta dengan membangun opini yang menguntungkan dirinya untuk menutupi dugaan korupsi tersebut,” ucap Disna.

Lebih lanjut, Disna mengatakan bahwa pihak-pihak terkait kini mulai berupaya menghilangkan barang bukti, seperti mengaburkan alat bukti saksi dengan menghimpun anggota koperasi baru untuk mendukung PTPN, merebut kepemimpinan koperasi yang sedang memperjuangkan haknya,

upaya melegalisasi kebun-kebun yang dihilangkannya, mengaburkan utang bank yang dikelola tidak akuntabel sebagai seolah-olah kebaikan PTPN, hingga menghilangkan bukti kerjasama pembangunan kebun.

Tujuan akhir dari seluruh proses kinerja yang buruk ini, lanjut Disna, adalah merampas seluruh tanah seluas lebih dari 2.000 hektar yang dimiliki oleh 997 petani yang tergabung dalam Kopsa M.

Upaya-upaya tersebut menurutnya, jauh dari tugas BUMN perkebunan yaitu membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Alih-alih justru bernafsu merampas tanah petani.

“Menteri BUMN, Erick Thohir dan Presiden Jokowi harus memastikan PTPN V bekerja profesional dan tidak merugikan petani,” tegasnya.

Atas dasar itu, Kopsa M dan Tim Advokasi Keadilan Agraria-SETARA Institute mendesak KPK untuk mengambil tindakan segera dalam kasus ini.

“Serta memastikan upaya penghilangan barang bukti tersebut bisa dicegah dan segera melakukan pemeriksaan pihak-pihak yang telah dilaporkan,” pungkasnya. {rmol}