Mulyanto Sebut Tahun 2021 Masa Suram Riset Nasional: Dari N250 Masuk Museum Hingga Bubarnya BATAN dan Lapan

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai sejak tahun 2019 hingga 2021, pembangunan riset dan teknologi nasional menjadi semakin suram, terutama terkait dengan aspek kelembagaannya. Padahal, lanjutnya, untuk membangun techno-structure kelembagaan riset-teknologi tersebut butuh waktu panjang.

“Perlu waktu yang lama untuk membangun rumah iptek yang kokoh. Tidak semudah merobohkannya,” ujar Mulyanto dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Kamis (30/12/2021).

Menurutnya pemerintah harus serius, mendalam dan dengan kepala dingin mengevaluasi persoalan ini bila ingin membangun iptek nasional.

“Cermin suram pembangunan Iptek nampak ketika kita menyaksikan dengan merana, bagaimana si Gatot Kaca N-250, pesawat seratus persen inovasi anak bangsa, diderek menuju museum. Tersayat hati kita melihat drama ini,” tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

Selain itu, Mulyanto kembali memberi bukti, satu demi satu kelembagaan iptek dibubarkan. Pertama adalah dibubarkannya Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek),

sehingga tugas perumusan dan koordinasi kebijakan ristek menjadi terbelah antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Berikutnya adalah pembubaran Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), yang menurut Mulyanto bukan sekadar lembaga penelitian dan pengembangan.

Pasalnya, masing-masing merupakan badan pelaksana tugas pokok ketenaganukliran dan badan penyelenggara keantariksaan dan penerbangan, sebagaimana amanat undang-undang.

Misalnya, dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, berbunyi: ‘Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir’.

Dengan pembubaran BATAN dan LAPAN, pemerintah telah melanggar UU Ketenaganukliran dan UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

“Kemudian BPPT dan LIPI dibubarkan. Awalnya fungsi pengkajian dan penerapan teknologi dalam BPPT dilebur ke dalam BRIN dalam bentuk OPL (organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan atau litbangjirap), namun terakhir unit kerja ini hilang.

Menciut menjadi hanya sekedar OR (organisasi riset). Padahal BRIN, sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas-Iptek bertugas melaksanakan litbangjirap secara terintegrasi dari hulu ke hilir dari invensi sampai inovasi,” tandas Mulyanto.

Tidak hanya itu, sebanyak 44 Balitbang kementerian teknis dibubarkan untuk dilebur ke dalam BRIN. Namun, lanjutnya, yang juga tidak mudah untuk dimengerti adalah dibubarkannya DRN (Dewan Riset Nasional),

yang anggotanya terdiri dari para ahli iptek berkaliber internasional dan diganti dengan Dewan Pengarah BRIN, yang diketuai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan Ketum Parpol, yang tidak memiliki reputasi di dunia Iptek.

“Terkesan terjadi politisasi iptek dan dehabibienisasi, yakni dihapuskannya karya kelembagaan teknologi yang hasilkan di era begawan iptek Prof. Dr. BJ Habibie,” pungkas legislator daerah pemilihan Banten III ini. {DPR}