Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah sempat berbicara terkait presiden-presiden Indonesia di masa lalu termasuk Presiden saat ini yakni Joko Widodo (Jokowi). Salah satunya Fahri membandingkan antara mantan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi.
Pembicaraan terkait presiden ini berangkat dari isu penundaan Pemilu 2024. Dia awalnya menekankan jangan sampai ada pihak yang medewakan pemimpin. Fahri menyebut dalam demokrasi jadwal pergantian pemimpin sifatnya pasti.
“Kita tidak boleh lagi mendewakan pemimpin. Mereka manusia biasa seperti kita,” kata Fahri seperti dalam cuitannya, Jumat (4/3/2022).
Fahri menyebut mengganti pemimpin bukan bencana dan KPU dan DPR sudah menyepakati 14 Februari 2024 sebagai tanggal pemilu selanjutnya.
Fahri Hamzah kemudian membahas presiden-presiden Indonesia di masa lalu seperti Sukarno, Soeharto, Habibie, hingga Megawati. Para mantan presiden itu, kata dia, sebagian berakhir tidak baik yakni dikudeta, diturunkan, bahkan dihapus namanya dalam sejarah.
“Dari seluruh pemimpin yang ada, sebagiannya adalah para pendiri bangsa. Jika kita berbicara karya-karyanya memang luar biasa, tapi kalau kita berbicara akhir kehidupannya terlalu banyak kisah sedih yang membuat kita harus belajar bagaimana mengakhiri kekuasaan secara baik dan bijaksana,” kata Fahri.
Fahri lantas membandingkan antara Presiden SBY dan Presiden Jokowi. Keduanya merupakan pimpinan yang terpilih lewat pemilihan langsung tanpa melalui masalah.
“Pasca pemilihan presiden langsung kita baru memiliki dua presiden, yaitu Pak SBY dan Pak Jokowi yang berkuasa dua periode masing-masing. Mereka menggunakan penuh haknya sebagai presiden selama dua periode, sebagaimana yang diatur oleh konstitusi kita,” ujarnya.
Fahri lantas berbicara terkait politik dinasti yang terjadi pada SBY. Dia menyebut, meski SBY mengakhiri jabatannya sebagai presiden dengan baik, tapi ada tindakan yang mencederai kenegarawanan SBY.
“Tetapi tetap saja mendapat catatan karena posisi partai yang beliau dirikan pada waktu itu terpaksa beliau ‘selamatkan’ dan mengharuskan beliau tetap menjadi ketua umum partai. Sekarang partai itu diwarisi oleh anaknya dan sedikit-banyak ada cidera dalam pewarisan, tidak mulus,” kata Fahri.
“Sebetulnya sah-sah saja Pak SBY menyelamatkan partai yang ia dirikan tetapi oleh sebagian kalangan itu mencederai kenegarawannnya. Kita tahulah apa yang akhirnya dialami partai itu,” ujarnya.
Dia mengatakan hal tersebut yang akhirnya membuat Presiden Jokowi tampak lebih mulus dari SBY ketika di ujung akhir kekuasaan. Dia beralasan Jokowi bukanlah pimpinan parpol dan Jokowi tidak bisa mewariskan kekuasaan apapun kepada keluarganya.
“Saya berpendapat bahwa Pak Jokowi tidak mewariskan dinasti tapi menyerahkan mereka untuk berkompetisi. Rakyat bisa memilih bisa juga tidak,” kata Fahri membandingkan keluarga mantan pemimpin Amerika Serikat seperti keluarga Bush hingga Kennedy.
Meski begitu, Fahri menyebut belakangan kepemimpinan Jokowi terganggu dengan pelaporan-pelaporan masyarakat terhadap dirinya dan keluarganya. Menurutnya hal tersebut wajar lantaran pernah dialami juga oleh SBY.
“Belakangan mulai ada keberanian masyarakat melaporkan presiden dan keluarganya terkait bisnis. Ini harus menjadi lampu kuning karena sekali lagi ini adalah semacam ‘kutukan periode kedua’. Pak SBY juga mengalami pada periode kedua korupsi pejabat partainya terbongkar,” ujarnya.
Fahri yang menegaskan dirinya bukanlah pemilih Jokowi maupun pendukung sang presiden ingin Jokowi mengakhiri jabatannya dengan baik-baik.
“Saya membayangkan Pak Jokowi akan berakhir lebih baik daripada presiden yang mewariskan parpol. Ini poin krusial yang harus dipertahankan oleh mereka yang betul-betul mencintai Pak Jokowi secara benar, demi keselamatan bangsa dan negara, serta beliau dan keluarganya,” kata Fahri. {detik}