News  

Islam, Minang, Malin Kundang

KEPRIHATINAN pantas dialamatkan ke ranah Minang yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian pemikiran-pemikiran Islam modernis, dan juga pusat pergerakan Islam yang berpengaruh. Keprihatinan itu menyangkut kegagalan budaya Minang melahirkan (lagi) generasi Islam yang “sekaliber” Natsir, Agus Salim, HAMKA, dan nama-nama lainnya.

Ranah Minang sepertinya menjadi mandul dalam melahirkan pemikiran Islam, atau lebih luas lagi mengalami kejumudan pemikiran-pemikiran alternatif yang berdampak pada dinginnya dialog-dialog keagamaan.

Malah dalam perkembangan terakhir, kontraversi meletup dengan rencana dikeluarkannya peraturan pelarangan perempuan keluar malam, lewat pukul 22.00. Peraturan itu digunakan sebagai antisipasi atas maraknya prostitusi dan kasus-kasus yang makin melunturkan citra Minangkabau sebagai daerah yang agamis.

Majalah Far Eastern Economic Review (FEER) menyorot khusus soal ini, dalam laporannya bulan Agustus 2001 ini. FEER juga menghubungkannya dengan pemberlakuan otonomi daerah dan berkembangnya kembali bentuk-bentuk nagari, sebagai ganti desa atau lurah yang dibentuk selama Orde Baru, yang disebut FEER sebagai Javanese autocracy.

Sekalipun rencana Perda itu tidak jadi mencantumkan pasal-pasal yang berhubungan dengan perempuan keluar malam, geliat perbedaan pendapat sudah kembali mengemuka di ranah Minang.

Keinginan untuk menerapkan syariat Islam dalam praktek kehidupan bermasyarakat di Minang, dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam memahami Islam, serta “konflik” laten di kalangan ummat Islam Minang yang terkenal inklusif dan modernis.

Dalam sejarahnya, Islam di Minang mengenal beragam bentuk artikulasinya masing-masing. Berbagai “aliran” pemikiran Islam telah menemukan lahan suburnya untuk bertumbuh dan berkembang di ranah Minang.

Dalam dua abad terakhir, “aliran” pemikiran Islam itu melahirkan berbagai konflik abadi antara berbagai kelompok Islam, dari konflik yang sifatnya wacana, sampai konflik yang berujung pada ditempatkannya kelompok Islam lain sebagai kelompok yang diluar Islam, seperti Ahmadiyah.

Arus perbedaan itulah yang juga mengintari kontraversi Perda yang menyangkut kemaksiatan di ranah Minang. Apabila kita menggunakan terminologi umum dalam berbagai kelompok-kelompok Islam di Indonesia, biasanya bermuara kepada dua kategori, yaitu Islam modernis, dan Islam tradisional.

Masing-masing kategori itu, dalam fase-fase tertentu dalam sejarah, mengalami pencabangan. Islam modernis biasanya terhubung dengan organisasi Muhammadiyah, sedangkan Islam tradisional diasosiasikan dengan organisasi NU.

Sedangkan dalam perkembangan terakhir, dengan melihat begitu banyak literatur yang diterbitkan pasca jatuhnya Orba, farian-farian yang muncul dari kedua kategori umum itu adalah Islam Liberal, Kiri Islam, atau Sosialisme Islam. Satu farian Islam lagi yang agak sukar ditempatkan sebagai cabang-cabang dari dua arus dominan itu adalah Islam Puritan atau yang sering disebut sebagai Islam Fundamentalis.

Uniknya, masing-masing farian Islam itu di Indonesia, hampir dipastikan terhubung dengan sejumlah tokoh yang dilahirkan di ranah Minang. Sosialisme Islam, misalnya, dihubungkan dengan Muhammad Hatta, terutama tulisan-tulisan Hatta sebelum Indonesia merdeka, atau ketika Hatta masih belajar di negeri Belanda.

Kiri Islam, kecuali menyangkut soal “komunis adalah ateis”, juga menemukan tokohnya, Tan Malaka. Partai Murba yang didirikan Tan Malaka, juga mempunyai pengaruh kuat di ranah Minang.

Dalam kebijakan politik yang ditempuh Tan Malaka, juga dalam tulisan-tulisannya, Tan Malaka sama sekali tidak menjadikan Islam sebagai musuh komunis. Malah, Tan Malaka memuji Islam sebagai agama yang paling rasional, juga sebagai agama yang bermusuhan dengan imprealisme Eropa.

***

Makin kuatnya pengaruh Islam Puritan (yang dalam awal abad 19 terhubung dengan gerakan Paderi pimpinan Imam Bonjol, dan di akhir abad 20 menemukan bentuk baru dalam kelompok-kelompok Usrah atau, minimal, terhubung dengan sayap politik Islam yang menyokong Partai Keadilan), mengemuka sekali ketika kontraversi Perda yang menyangkut kemaksiatan meletup di ranah Minang.

Sekalipun kemaksiatan memang menjadi musuh bersama kelompok-kelompok Islam, dan ummat beragama umumnya, argumen-argumen yang dibangun berbagai kelompok Islam dalam menyikapi Perda ini nyata sekali berada dalam dua kutub berlawanan, ketika kelompok Islam Puritan menghadapi berbagai kelompok Islam lainnya. Paling tidak, ketika Rancangan Perda berhasil diajukan – sekalipun tidak jadi diputuskan – pengaruh Islam Puritan makin menemukan lahan suburnya di ranah Minang.

Keadaan ini tentu sulit digeneralisasi sebagai sebuah “kekalahan” Islam modernis – termasuk Islam liberal — dalam berhadapan dengan Islam fundamentalis atau bahkan Wahabiisme Baru (kalau “kategori” Islam modernis, Islam Liberal, dan Islam Fundamentalis atau Wahabiisme ini dianggap sebagai wacana yang pantas didialogkan, dan bukan kategori mati).

Yang tampak nyata, justru Minang secara keseluruhan mengalami dehidrasi kultural yang akut, malahan mulai mengarah kepada praktek-praktek anti demokrasi. Himpitan feodalisme (Jawa) selama era Soeharto, telah menjepit kedudukan masyarakat demokratis Minangkabau pada tingkatan paling bawah.

Feodalisme itu makin nyata, dengan kelakuan para perantau untuk menyematkan gelar adat dikepalanya, yang diukur dari sisi kekayaan atau jabatan. Sisi lain nyaris dilupakan, misalnya kemampuan mengelola konflik di masyarakat, sisi relegiusitas, maupun kontribusi pemikiran yang relevan dengan perkembangan zaman.

Kasus terakhir adalah diangkatnya seorang Gubernur yang bukan etnis Minang sebagai niniak mamak salah satu suku di Minang. Hanya karena ia seorang gubernur, elite-elite suku tertentu itu di Jakarta lantas mengangkatnya sebagai niniak mamak. Praktek-praktek semacam ini memperlihatkan, betapa feodalisme menemukan lahan suburnya di Minang, justru ketika tanah Jawa sedang bergeser meninggalkannya.

“Keberhasilan” dari sisi ekonomi, dan ketertindasan politik akibat ditiupkannya trauma PRRI kepada masyarakat Minang, sebagai bentuk pengkhianatan terhadap NKRI, telah melahirkan generasi Minang yang takut dan gagap kepada politik dan pemikiran alternatif.

Kecuali kalangan politisi yang berkiprah diluar Minang yang aktifi di partai-partai Islam, dalam catatan hasil-hasil Pemilu Orde Baru, Minang merupakan kontributor Golkar pasca Pemilu 1971-1977, padahal Golkar adalah partai sekuler sebelum mengalami infiltrasi signifikan dari mantan-mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di akhir 1980-an.

Diberikannya gelar Parasamya Purna Karya Nugraha, selama Orde Baru, konon juga tak terlepas dari keberhasilan Gubernur Sumbar waktu itu dalam memenangkan Golkar menghadapi PPP.

Kalau kita berkunjung ke restoran-restoran atau rumah-rumah makan Minang, pasti akan ditemukan foto-foto kostum militer. Ini pergeseran lain: militerisme Orde Baru dan trauma PRRI telah membuat masyarakat Minang merasa lebih terlindungi oleh keluarganya – atau kenalan yang diakui keluarga – yang menggunakan seragam militer.

Menjadi anggota TNI sudah merupakan profesi favorit yang membanggakan, selain menjadi pegawai negeri. Keadaan ini menunjukkan betapa perlindungan fisik lebih diutamakan, ketimbang perlindungan intelektual berupa profesi di dunia LSM atau perguruan tinggi.

Padahal, jamak sekali dikenal dalam masyarakat Minang, khususnya Minang Daratan – mengacu kepada Agam, Bukittinggi, Padang Panjang atau Payakumbuh—profesi militer dulunya kurang begitu mendapat tempat. Profesi militer dianggap sebagai tidak intelektual dan tidak relegius, jika melihat pada pendidikan para prajurit militer yang sangat kuat memegang garis komando kepada atasan, dan “bukan kepada Allah SWT”.

Keadaan ini tentu memprihatinkan, sebagai negeri yang dipuji oleh intelektual Islam – seperti Gus Dur, Cak Nur dan Cak Nun – sebagai persemaian demokrasi. Tradisi Islam pesisiran yang membedakannya dengan Islam pedalaman, selama ini telah menempatkan Minang sebagai pusat perbenturan antar berbagai pemikiran, terutama Islam, dalam masyarakatnya.

Kemampuan masyarakat dalam mengadopsi, menyeleksi, dan sekaligus menemukan sintesa pemikiran-pemikiran baru, selama ini sudah diakui oleh kalangan peneliti dalam dan luar negeri. Berbagai karya Indonesianis juga menjadikan kebudayaan Minang sebagai referensi utamanya sebagai unsur pendukung munculnya beragam manusia “kiri” dan “kanan” sebagai lapisan pertama kaum intelektual Indonesia.

***

Berkembangnya wacana Islam liberal di Indonesia yang digagas beragam kalangan intelektual muda Islam, yang juga terhubung dengan generasi Ahmad Wahib, Johan Effendi dan Nurcholis Madjid, sungguh membuka peluang bagi terbukanya lagi dialog-dialog keislaman dalam generasi muda Islam di Minang.

Semestinya memang demikian, sekalipun sulit sekali menemukannya dalam realitas keseharian. Islam liberal yang lebih menempatkan pertanggung-jawaban suatu pemikiran sebagai pertanggung-jawaban individu, dan bukan lagi berdasarkan klaim kaum, adat, atau komunitas, tentunya bisa menjadi jalan masuk bagi persemaian, dan bahkan, pergulatan pemikiran Islam model “baru”.

Dengan kekayaan budaya Minang yang menonjolkan demokrasi, tentunya merupakan perkawinan yang tak perlu lagi diijab-kabulkan antara Islam liberal dengan nilai-nilai budaya Minang itu.

Tantangan terbesar dari perkembangan “baru” ini saya kira akan berasal dari organisasi Islam yang sudah mapan di Sumatera Barat. Organisasi-organisasi itu, dengan sangat perlahan, telah menjadikan dirinya sebagai bentuk final dari Islam yang cocok dengan masyarakat Minang.

Padahal, sudah terbukti bahwa terjadinya berbagai bentuk dekandensi moral di kalangan masyarakat Minang sekarang, tak lepas dari kurang berhasilnya organisasi-organisasi Islam, terutama, Islam modernis dan Islam puritan dalam memberikan pemahaman keislaman yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Maraknya perjudian, korupsi (Sumbar termasuk lima besar dalam peringkat propinsi paling korup), juga mulai menggejalanya kebebasan seksual di kalangan masyarakat Minang sekarang, paling tidak merupakan muara dari kegagalan organisasi-organisasi keagamaan dalam merespon perkembangan masyarakat. Statisnya organisasi keagamaan, telah memerangkap dinamisnya masyarakat Minang.

Perkembangan lain tentu juga perlu dicatat, berupa meningkatnya kembali pengaruh Islam Ahmadyah di Minang, juga sebagian kecil penduduk yang pindah agama. Ahmadiyah yang dikenal sebagai kelompok kaya ini, dan kelompok Islam yang divonis pemerintah Indonesia sebagai kelompok diluar Islam, menemukan banyak sekali perlawanan.

Begitu juga penduduk yang pindah agama yang menjadi petaka dari kuatnya benteng keimanan ummat Islam Minang. Seringkali penyikapan terhadap persoalan ini bersifat reaksioner – seperti pengusiran teolog salah satu agama non Islam- tanpa menyigi lebih lanjut kegagalan dari organisasi formal Islam dalam membaca arah perkembangan masyarakat.

Seperti Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu (benda mati), tampaknya perkembangan pemikiran Islam di Minang sedang mengalami fase kedurhakaan atas kulturnya sendiri, sekalipun apresiasi positif pantas dilayangkan kepada kelompok Islam Puritan dan Islam Liberal, disamping kelompok-kelompok Islam yang sudah mapan sebelumnya.

Islam, tentu, tak perlu menjadi batu di Minang, asalkan berbagai upaya untuk mendinamisir pemikiran Islam terus dikembangkan. Dalam konteks inilah, kehadiran Islam Puritan dan Islam Liberal pantas disambut sebagai “gertakan” atas mandegnya pemikiran Islam di Minang.

Jakarta, September 2001

Indra J. Piliang

Ketika menulis artikel ini, Indra J. Piliang, masih focus menulis tentang politik dan humaniora. Bekerja sebagai Staf Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jalan Tanah SAbang III, Jakarta.