Yusril: MK Bukan Lagi Penjaga Tegaknya Demokrasi, Tapi The Guardian of Oligarchy

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, menyebut ketentuan presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden mengancam demokrasi. Sebab, calon presiden dan wakil presiden yang muncul akan hanya itu-itu saja.

“Dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/7).

Kendati menjadi ancaman demokrasi, kata Yusril, ketentuan presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tetap dipertahankan Mahkamah Konstitusi (MK).

Teranyar, MK tidak menerima permohonan uji materil yang dilayangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta menolak permohonan PBB terkait pencabutan pasal tersebut.

Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan para anggota DPD yang terdiri dari La Nyalla Mattalitti; Nono Sampono; Mahyudi; dan Sultan Baktiar Najamudin, tidak punya legal standing, maka dinyatakan tidak dapat diterima.

Sementara, PBB dinyatakan punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya.

Yusri mengatakan, MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai yurisprudensi yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan,” kata Yusril

Ketentuan yang dipertahankan MK ini, dianggap Yusril akan melahirkan hal tidak logis dalam demokrasi Indonesia. Di mana calon presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan threshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya.

Padahal dalam lima tahun itu, ungkap Yusril, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah.

“Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy,” ungkap Ketum PBB itu.

Menurut Yusril, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.

Ia mencontohkan salam fiqih. Bahwa tokoh sekaliber Imam Syafi’i (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan ‘qaul jadid’ atau pendapat baru, dan meninggalkan ‘qaul qadim’ atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.

“MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan ‘jumud’ [kaku] dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita,” tutur dia.(Sumber)