Penguatan Partai Politik Tidak Ditentukan Sistem Pemilu

Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alasan dan landasan untuk membatalkan sistem proporsional terbuka dalam Judicial Review terhadap Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 22E UUD 1945 sama sekali tidak mengatur sistem pemilu. Sebagai norma tertinggi, UUD 1945 hanya mengatur partai politik sebagai peserta pemilu (Pasal 22E ayat (3)).

Berkenaan dengan sistem pemilu, adalah kewenangan dan menjadi ranah DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU, norma yang berada di bawah UUD. Terkait dengan pengujian UU No.7/2017 di MK, yang berhak mengajukan adalah pihak yang dirugikan, dalam hal ini partai politik atau individu.

Delapan dari sembilan Fraksi Parpol di DPR telah menolaknya. Dengan demikian, MK tidak memiliki landasan dan alasan untuk membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini. Bahkan dari sisi individu, hak dipilih dan memilih bagi setiap warga negara semakin terbuka luas, yang lebih menjamin hak-hak azasinya.

Penguatan partai politik dalam penyelenggaraan demokrasi tidak ditentukan oleh sistem pemilu. Akan tetapi oleh tata kelola parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen.

Pippa Norris, professor ilmu politik Harvard University, dalam bukunya Recruitment: Handbook of Party Politics (2006), menyatakan bahwa parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen harus mampu menjamin kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya (eligible), berbasis dukungan masyarakat, teruji akuntabilitas publik dan elektabilitas kandidatnya.

Lebih dari itu, Stefano Bartolini dan Peter Mair yang menulis Challenges to Contemporary Political Parties (2001), juga Jaroslaw Szymanek dalam Theory of Political Representation (2015), menyatakan bahwa penguatan parpol sangat bergantung pada fungsi representasinya, yakni dalam menjalankan fungsi artikulasi, agregasi dan pembentukan kebijakan.

Berkaitan dengan itu, Thomas Meyer, ilmuwan politik asal Jerman, dalam risalahnya mengenai “Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis” (2012), menyatakan bahwa parpol satu-satunya institusi publik yang mampu mengagregasi kepentingan masyarakat ke dalam hukum perundang-undangan dan kebijakan publik, serta mentransformasikan berbagai kepentingan masyarakat dalam bentuk program kerja yang harus diperjuangkan dalam kebijakan publik.

Bahkan John Ishiyama, profesor riset ilmu politik di Universitas Texas, Amerika Serikat, yang menulis Political Parties, Democracy, and Good Governance (2015), menyatakan bahwa parpol berfungsi membentuk Good Governace, yaitu membentuk pemerintahan efektif, mengendalikan korupsi, dan mewujudkan stabilitas politik.

Dari teori-teori tersebut, jelas bahwa penguatan parpol bukan ditentukan oleh sistem pemilu, melainkan oleh tata kelola partai poliltik dalam menjalankan fungsi rekrutmen dan fungsi representasinya.

Oleh karenanya, menjadi tidak relevan dan tidak memiliki alasan dan landasan hukum konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka. Justru sistem proporsional terbuka lebih menjamin HAM bagi setiap warga negara dalam menjalankan hak politiknya untuk dipilih dan memilih.

Oleh Agun Gunandjar Sudarsa

Anggota Komisi XI F-PG DPR RI

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI {Golkarpedia}