News  

Ancaman Masalah Usai Disahkannya Omnibus Law UU Kesehatan

Sebagaimana kita ketahui, sistem pendidikan dokter spesialis adalah salah satu agenda penting yang diusung menkes dengan telah disahkannya UU Kesehatan Omnibus.

Pendidikan dokter spesialis yang selama ini berjalan sesuai dengan UU 20-2013 tentang Pendidikan Kedokteran kita sebut sebagai berbasis Universitas.

Program studi spesialis yang berjalan saat ini, meskipun dimiliki oleh Universitas (dengan FK yang harus terakreditasi A), tapi diselenggarakan di RS pendidikan, dan memiliki standar kurikulum, standar kompetensi, standar pencapaian kompetensi dan berbagai standar lain yang semuanya disusun oleh kolegium bidang ilmu terkait (sebuah badan otonom dari perhimpunan dokter spesialis yang tugasnya khusus mengampu pendidikan).

Jadi pendidikan spesialis yang saat ini berjalan sebenarnya berbasis tripartite, yaitu kerja sama antara Fakultas Kedokteran, RS Pendidikan, dan Kolegium bidang Ilmu, yang antara ketiga badan/institusi tersebut terikat dalam sebuah Perjanjian Kerja sama (PKS), dan masing-masing memiliki tugas dan kewajiban sebagai kepanjangan tangan negara dalam memenuhi kewajiban konstitusional untuk tujuan luhur demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan dokter spesialis jelas bukan cuma mendidik keterampilan psikomotor seperti pendidikan vokasi yang biasa dilakukan di balai latihan kerja (BLK).

Pendidikan dokter spesialis juga bukan sekadar mengajarkan keterampilan profesi, tapi ada ilmu yang harus dikuasai secara komprehensif (body of knowledge), ada etika keilmuan dan etika profesi serta disiplin profesi yang melekat, serta harus menjaga “patient safety” sesuai dengan prinsip dasar ilmu kedokteran yaitu ‘Do No Harm’ (tidak boleh seorang pun mengalami cedera saat berupaya mencari pertolongan medis).

Apa pun sebutannya, hospital based atau kolegium based, model pendidikan dokter spesialis yang digagas menkes dan diklaim bisa diselenggarakan di lebih dari 3000 RS, menerapkan model ‘magang’ sebagaimana yang dilaksanakan di Royal College of London.

Alasan yang dikemukakan oleh menkes adalah, Inggris dengan jumlah penduduk seperempat negeri kitab bisa menghasilkan 15 ribu dokter spesialis per tahun, sedangkan kita cuma menghasilkan 2500 setiap tahun. Ini adalah model coba-coba yang belum ada contohnya di negeri kita.

Inggris adalah negara maju dengan infrastruktur dan sistem layanan kesehatan yang amat berbeda dengan negeri kita. Sebagai contohnya adalah semua rumah sakit yang terlibat dalam pendidikan hospital based ini sudah memiliki banyak dokter subspesialis terkait dengan bidang pendidikan spesialis yang diampu.

Sistem cakupan universal health care (UHC) Inggris pun secara objektif adalah salah satu yang terbaik di dunia. Di Indonesia, kita sangat bisa dengan mudahnya menemukan ketimpangan infrastruktur, kekurangan dokter spesialis (jangankan spesialis, dokter umum saja kurang), dan berbeda sejarah dengan Inggris yang sudah memiliki sistem asuransi nasional berpuluh tahun, BPJS kita belum genap berjalan 10 tahun dengan segala paket permasalahannya.

Manusia adalah satu tubuh yang utuh dan setiap organ tubuh bekerja dalam satu keterkaitan dengan organ tubuh yang lain. Nyeri di dada bisa karena serangan jantung, tapi juga bisa karena tukak lambung, atau bisa dari adanya tumor atau jepitan saraf di tulang belakang nya. jadi penguasaan ilmu harus komprehensif, tidak bisa hanya sepotong-sepotong dengan alasan karena nantinya hanya mau berpraktik khusus hanya kepala saja, perut saja, atau kulit saja.

Jadi tidak mungkin seseorang yang ingin jadi dokter spesialis mata, supaya lama pendidikan lebih singkat, cukup dengan sekolah kedokteran selama 4 tahun lalu langsung hanya belajar tentang mata saja selama 2 tahun, lulus jadi seorang ahli spesialis mata.

Atau seorang spesialis bedah onkologi (ahli tumor) yang hanya belajar tentang payudara saja karena hanya mau berpraktik bedah payudara saja, dengan waktu pendidikan yang lebih singkat.

(Dalam ilmu tentang bangunan, seorang tukang pasang porcelain cukup mendalami keterampilan tersebut saja tanpa harus tahu tentang ilmu perkayuan, namanya saja tukang, bukan profesi).

Selain itu, pendidikan harus diberikan oleh seorang guru yang tingkat kedalaman/penguasaan ilmu dan pengalamannya minimal 2 tingkat di atas peserta didik. Untuk pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam misalnya, ilmu tentang ginjal harus diberikan oleh dokter Penyakit Dalam Konsultan/Sub-Spesialis Ginjal, demikian juga terkait Jantung, kelenjar Endokrin (Hormon/DM/Tiroid), dan sebagainya.

Jadi tentu tidak bisa seorang Spesialis Penyakit Dalam mendidik Dokter Umum untuk menjadi Spesialis Penyakit Dalam, karena akan sama dengan Lulusan SD yang mengajar Sekolah Dasar, karena yang akan terjadi adalah degradasi penguasaan ilmu, dan ini akan berbahaya bagi keselamatan pasien (untuk mengajar SD saja minimal harus lulusan PGSD/D1).

Di RS Pendidikan/wahana pendidikan profesi, ada berbagai disiplin Ilmu yang saling saling berinteraksi (tidak bisa berdiri sendiri-sendiri). Ilmu dan kompetensi seorang spesialis diperoleh dari ‘belanja Ilmu’ dari berbagai Divisi/Bagian Ilmu lain.

Seorang calon spesialis Bedah Umum, belajar tentang dosis obat dan nutrisi pada anak dari ‘magang’ atau stase belajar di Bagian Ilmu Kesehatan Anak selama 3 bulan. Calon spesialis Bedah Umum ini juga belajar tentang foto Rontgen dan interpretasi/memaknai foto Rontgen dari bagian/divisi Radiologi di RS Pendidikan.

Pasien dengan penyakit tumor otak bisa jadi keluhan awalnya adalah gangguan penglihatan/mata yang kabur, jadi calon spesialis mata mesti memperoleh sebagian ilmu dan kompetensinya dari Divisi/bagian Ilmu Saraf/Bedah Saraf.

Perkembangan Ilmu Kedokteran terus berlangsung dengan amat pesat. Setiap harinya, diduga ada lebih dari ribuan artikel ilmiah di bidang kedokteran yang terbit. Semua riset dan penelitian ilmu ini juga dilakukan oleh para praktisi dan sekaligus peneliti, artinya para dokter selain sebagai seorang praktisi, harus memiliki kemampuan untuk memahami konsep penelitian dan pengembangkan ilmunya.

Keilmuan terkait riset dan penelitian tidak mungkin diperoleh dari praktisi medis/ dokter spesialis yang sehari-harinya hanya berpraktik profesi, betapa pun ahli dan terampilnya. Jadi diperlukan juga kehadiran para guru yang bergelar doktor (S3) bagi para calon spesialis ini (tentu bukan doktor ‘honoris causa’) demi berjalannya sistem pendidikan spesialistik yang lazim.

Dalam pendidikan spesialis, ada standar kompetensi, standar pendidikan untuk mencapai kompetensi tersebut, serta standar praktik profesi. Standar-standar tersebut selama ini sudah dibuat oleh Kolegium Bidang Ilmu terkait (ada 37 bidang spesialisasi) dan disahkan oleh Negara dalam bentuk Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, yang dimuat dalam Lembaran Negara RI.

Semuanya saat ini masih berlaku sah dan di dalamnya ada ketentuan tentang standar RS Pendidikan, standar Dosen, standar Penjaminan Mutu, dan Standar Pembiayaan, termasuk insentif bagi para Peserta didik PPDS.
Jadi ada peran dari kolegium terkait syarat minimal sesuai dengan standar yang ada, maka kolegium ini harus independent dan tidak boleh berada di bawah kekuasaan pemilik Institusi Pendidikan Dokter Spesialis. Kalau institusinya milik kemenkes, maka kolegium tidak boleh ada di bawah Kemenkes dan tentu saja tidak boleh di bawah Universitas pemilik Program Studi Spesialis.

Penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis yang tidak memenuhi standar dan ketentuan yang telah berjalan selama ini, jika pemahaman saya tidak salah, sebagaimana model yang digagas Menkes, yang tidak mengikuti ketentuan UU 20-2013 (karena UU ini termasuk yang akan batal dengan berlakunya UU Kesehatan Omnibus) akan membahayakan, mendegradasi, dan mengorbankan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat luas.

Apalagi bila kontrol dan pengawasan terhadap praktik dokter spesialis tersebut semuanya juga berada dalam genggaman kekuasaan kemenkes sebagaimana diatur oleh UU Kesehatan Omnibus ini.

Semoga para petinggi negeri dan para politisi yang mengambil keputusan pengesahan UU Kesehatan Omnibus ini sadar akan ancaman serius bagi layanan kesehatan untuk rakyat.

Para petinggi dan politisi tersebut tentu tidak perlu mengkhawatirkan kualitas layanan kesehatan bagi diri dan keluarganya karena UU kesehatan Omnibus ini juga memberi karpet merah bagi berdirinya RS asing/ RS swasta yang bermodal besar dan berbiaya mahal, termasuk hadirnya dokter dan nakes WNA yang manfaatnya untuk rakyat (kalau ada), layak dipertanyakan.

Masa sih, yang boleh sakit hanya yang punya modal saja?(Sumber)