News  

Malaysia Manfaatkan AI Bantu Diagnosa dan Obati Kesehatan Mental Pasien

Beberapa profesional kesehatan mental di Malaysia memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi tanda-tanda awal depresi. Langkah ini bertujuan menyediakan akses lebih besar ke sumber daya kesehatan mental, karena negara tersebut menghadapi kekurangan profesional yang berkualifikasi.

Menurut survei nasional baru-baru ini, sekitar 1 juta orang Malaysia menderita depresi, dua kali lipat dari jumlah yang tercatat pada 2019. Setengah dari individu ini juga melaporkan sempat terpikir untuk melukai diri sendiri atau bunuh diri. Tantangan kesehatan mental di Malaysia meningkat seiring munculnya pandemi COVID-19.

Setelah mengalami sendiri depresi berat, Dr. Jest Wong dan timnya terinspirasi untuk membuat aplikasi yang menggunakan AI untuk membantu mendeteksi depresi sejak dini. Dengan aplikasi tersebut, pengguna cukup memindai kode QR dan merekam percakapan singkat berdurasi 90 detik.

Aplikasi tersebut kemudian akan menganalisis karakteristik vokal, seperti kejelasan, kecepatan bicara, dan nada, untuk menghasilkan laporan kesehatan mental. “Anda benar-benar dapat mengetahui apakah seseorang menderita depresi atau stres atau tidak,” kata pendiri Westwood Clinic yang berusia 40 tahun itu.

“Jadi, kami menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang dapat membantu negara ini menjadi tempat yang lebih baik. Itulah sebabnya kami membuat aplikasi (yang menawarkan) akses mudah.” Lebih dari setengah juta pengguna telah mengakses aplikasi tersebut sejak diluncurkan pada Juli tahun lalu.

Bergantung pada apa yang dijabarkan dalam laporan kesehatan mental, pengguna kemudian dapat menghubungi psikiater untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut jika diperlukan.

Para praktisi medis mengungkapkan kepada Channel News Asia (CNA) bahwa maraknya aplikasi semacam itu dapat meningkatkan perawatan kesehatan mental di Malaysia, yang saat ini kekurangan tenaga profesional berkualifikasi. Hanya ada sekitar 500 psikiater di Malaysia, atau satu psikiater untuk setiap 200.000 orang. Jumlah ini jauh lebih rendah dari rasio yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia yaitu satu psikiater untuk setiap 10.000 orang.

Dr Prem Kumar Shanmugam, CEO pusat rehabilitasi Solace Asia, mengatakan dengan meningkatnya kesadaran akan masalah kesehatan mental dan kurangnya dokter, kesenjangan yang besar ini memaksa mencari pilihan lain untuk mendapatkan perawatan. “AI, teknologi digital, dan chatbot jelas merupakan pilihan,” tambahnya.

Tidak Dapat Menggantikan Profesional Manusia
Meskipun perangkat seperti AI dapat memfasilitasi dukungan kesehatan mental, para ahli menekankan bahwa teknologi tersebut tidak dapat menggantikan pemahaman yang mendalam dari para profesional manusia.

Mengutip berbagai pertimbangan, Dr Prem berkata: “Saya pikir kekhususan budaya (belum) dipelajari. Baik itu kedokteran, psikologi, atau jenis pekerjaan klinis apa pun, kita perlu peka terhadap budaya dan kebutuhan khusus orang yang berbeda.”

Dr Maria Hennessy, profesor asosiasi psikologi klinis di James Cook University, berkata: “AI dan chatbot mungkin lebih merupakan mimpi daripada kenyataan saat ini, dalam hal seberapa efektif keduanya untuk perawatan individu kita sendiri.” Teknologi tersebut terus berkembang dan masih ada jalan panjang yang harus ditempuh, katanya kepada Asia First dari CNA.

“Paling banter, keduanya dapat memberikan informasi dan komunikasi dasar, tetapi keduanya belum memiliki kapasitas untuk memberi empati dan rasa hubungan yang Anda cari dari seorang dokter kesehatan mental yang baik,” tambahnya. Padahal empati dan hubungan itulah yang sebenarnya menyumbang sekitar 50 persen dari efektivitas pemeriksaan dokter.

Meskipun masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menerapkan AI dalam praktik perawatan kesehatan mental, khususnya terkait privasi dan etika data, penggunaan teknologi merupakan langkah maju dalam mendorong manajemen kesehatan mental yang proaktif.

“Mereka hadir untuk menyediakan informasi dasar yang mudah diakses bagi orang-orang yang mungkin kesulitan menemukannya. Namun, mereka tentu saja tidak dapat menggantikan konsultasi dengan dokter,” kata Dr. Hennessy.

(Sumber)