News  

Amnesty International: Proyek Strategis Nasional Minim Keterlibatan Masyarakat

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, kasus pelanggaran HAM di sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) berawal dari minimnya keterlibatan masyarakat. Padahal terdapat prinsip internasional yang dikenal sebagai FPIC (Free, Prior, and Informed Concent).

FPIC sendiri merupakan prinsip HAM internasional yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap proyek yang akan dijalankan di wilayah mereka. “Kita mengenalnya sebagai PADIATAPA, Persetujuan Diawal Tanpa Paksaan. Ini yang tidak dilakukan pemerintah,” kata Usman Hamid kepada Inilah.com pada Rabu, 15 Januari 2025.

Menurutnya, insiden kekerasan yang terjadi di Rempang, Wadas, dan Air Bangis menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi HAM masyarakat. “Gejolak di banyak tempat itu memperlihatkan bahwa persetujuan mereka belum ada dan proyek itu terkesan dipaksakan. Karena itu, PSN yang bermasalah dari sisi HAM harus dihentikan atau setidak-tidaknya dievaluasi,” ujar Usman.

Dirinya mencontohkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Rempang Eco City. Usman menyebut, terdapat pelanggaran berlapis yang terjadi di wilayah Rempang. Pertama, pelanggaran hak atas tanah ulayat. Kedua, penghilangan atau pengabaian hak berekspresi atau menyampaikan pendapat.

Ketiga, tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Terakhir, teror psikis yang mengikis hak untuk hidup aman. “Kita lihat pada September 2023 ditambah Desember 2024 itu aparat negara dan aktor non negara terlibat dalam penyerangan terhadap warga Rempang,” katanya.

Apabila aparat keamanan melakukan kekerasan dan tindakan eksesif ke masyarakat, lanjut Usman, maka sudah terjadi pelanggaran HAM. “Karena negara punya kewajiban untuk melindungi masyarakat kendati mereka (masyarakat) menunjukkan penolakan. Penolakan itu menimbulkan ketidaksukaan dari pihak-pihak yang berkepentingan secara bisnis,” tuturnya.

Berdasarkan laporan yang diterima Amnesty, masyarakat juga mendapat intimidasi dari preman yang menjadi “tangan-tangan” perusahaan. “Seharusnya menjadi koreksi bagi negara bahwa masyarakat Rempang yang menolak (PSN) itu bisa jadi diserang dan diintimidasi. Jadi, hal-hal sekecil apapun seharusnya dideteksi oleh negara lewat aparat keamanan”.

Usman mengatakan, pemerintah tidak boleh kalah dan dikendalikan oleh kekuatan korporasi. Negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat, bukan sebaliknya sekubu dengan korporasi “menggebuk” masyarakat.

“Karena pemangku utama kewajiban atas itu semua adalah negara dan korporasi hanya mengambil keuntungan bisnis. Secara prinsipal enggak boleh dicampur urusan bisnis dengan HAM dan kepentingan masyarakat,” ucap Usman.

Menurutnya, proyek apapun yang dijalankan pemerintah wajib menjunjung prinsip-prinsip HAM yang sudah diadopsi PBB. “Persoalannya bukan PSN atau tidak, tapi setiap proyek pemerintah atau bisnis yang menggunakan tanah masyarakat atau mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat itu harus menghormati HAM”.

Usman mengkritik sikap pemerintah di sejumlah PSN yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Sejatinya PSN dikembalikan pada semangat awalnya yakni untuk kesejahteraan masyarakat. Usman menyebut, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengamanatkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi pelaku usaha dengan kepentingan masyarakat dan buruh. “Jangan mentang-mentang PSN, aparat bersikap brutal. Kaidah hukum atau HAM diabaikan. Itu saya kira enggak benar,” katanya.

Ia berharap pemerintahan Prabowo mengedepankan partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam PSN. Menurutnya, janji penegakan HAM jangan sampai sebatas omon-omon. “Harus ada kepatuhan pada konstitusi dan kepatuhan pada undang-undang yang telah diratifikasi atau diharmonisasi scara internasional. Hak sipil dan politik, hak ekonomi dan sosial budaya seringkali diabaikan dalam proyek pembangunan nasional,” pungkasnya.(Sumber)