KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha memberikan penjelasan mendalam terkait polemik tahunan mengenai hisab dan rukyat dalam menentukan awal Ramadan dan Idul Fitri. Dalam suatu majelis pengajian bersama para santri, Gus Baha menegaskan bahwa hisab adalah ilmu yang dibenarkan dalam Alquran dan tidak boleh ditolak begitu saja.
Hisab dalam Alquran
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Rembang itu mengawali penjelasannya dengan mengutip ayat Alquran Surat Al-Furqan Ayat 61:
تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan menjadikan di dalamnya pelita (matahari) dan bulan yang bercahaya.”
Menurut Gus Baha, dalam mazhab Syafi’iyah, seseorang boleh percaya pada hisab asalkan hisab itu bersifat qath’i (pasti) atau dikonsensuskan oleh para ahli. Oleh karena itu, menolak hisab sepenuhnya adalah pemahaman yang keliru.
“Kalian meskipun memiliki tradisi pesantren, jangan menolak hisab. Salah! Hisab itu dibenarkan Alquran,” ujar Gus Baha.
Lebih lanjut, ia mengutip ayat lainnya:
وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Agar kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
Ayat ini, menurut Gus Baha, menjadi dasar bahwa ilmu hisab memang diakui dalam Islam dan digunakan dalam menentukan perhitungan bulan dan tahun.
Hisab dan Rukyat Harus Sejalan
Gus Baha juga menjelaskan bahwa hisab dan rukyat tidak boleh dipertentangkan, karena keduanya sama-sama digunakan dalam Islam. Ia mencontohkan kejadian saat penentuan 1 Syawal tahun lalu, di mana posisi hilal sudah mencapai 3 derajat, sehingga jika mengacu pada hisab, maka hari raya sudah bisa ditetapkan meskipun rukyat belum dilakukan.
“Andaikan tidak ada pengumuman Pemerintah pun saya sudah Lebaran. Karena kalender Muhammadiyah juga 3 derajat, kalender NU sudah di atas 2,5 derajat. Walaupun tidak ada rukyat pun saya berani Lebaran, karena 2 derajat saja muttafaq ‘alaih (disepakati) bisa dirukyah, apalagi 3 derajat,” jelasnya.
Namun, untuk kasus Dzulhijjah, di mana ada perbedaan pendapat mengenai ketinggian hilal yang masih di bawah 2 derajat, maka rukyat lebih diutamakan karena masih ada subjektivitas dalam hisab.
Menolak Dikotomi NU-Rukyat dan Muhammadiyah-Hisab
Salah satu hal yang dikritisi oleh Gus Baha adalah adanya dikotomi antara NU dan Muhammadiyah dalam penggunaan hisab dan rukyat. Menurutnya, pandangan bahwa NU hanya rukyat dan Muhammadiyah hanya hisab adalah pemahaman yang keliru.
“Yang bilang NU itu rukyat dan Muhammadiyah itu hisab siapa? Orang alim tidak ada yang ngomong begitu. Ini seperti perdebatan NU pakai qunut, Muhammadiyah tidak qunut. Padahal, Imam Syafi’i itu qunut, Imam Abu Hanifah tidak qunut. Apa Imam Syafi’i itu Rois ‘Aam NU? Apa Abu Hanifah ketua PP Muhammadiyah?”
Bagi Gus Baha, tradisi ulama sejak dahulu lebih melihat dalil-dalil ilmiah dibanding sekadar mengikuti ormas. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa perbedaan dalam penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri seharusnya tidak dijadikan alasan untuk perpecahan di antara umat Islam.
Hisab sebagai Ilmu Pasti yang Bisa Dikalkulasi
Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan bahwa hisab memiliki akurasi yang sangat tinggi, bahkan dapat menghitung lama gerhana hingga menitnya, serta menentukan posisi hilal untuk 100 tahun ke depan. Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa ilmu ini tidak boleh diabaikan.
“Menghitung menit saja bisa, kok menghitung hari tidak dipercaya? Apa kalau mau sholat gerhana harus menunggu rukyat dulu? Nyatanya sore harinya sudah diumumkan. Percaya hisab dulu apa rukyat dulu? Hisab kan?”
Namun, ia juga mengingatkan bahwa hisab bisa salah, terutama jika dilakukan oleh individu tanpa konsensus para ahli. Oleh karena itu, ia mengutip pendapat Imam Subki, yang mengatakan bahwa hisab boleh diikuti jika sudah mendapatkan kesepakatan para pakar.
Menolak Sikap Anti Hisab
Gus Baha mengkritik kelompok yang menolak hisab sepenuhnya, padahal ilmu tersebut juga berasal dari tradisi ulama Islam.
“Kalau anti hisab, ya bakar saja kalendernya! Kan kita sendiri yang punya banyak pakar hisab. Ilmu ini dari ulama kita sendiri. Jangan suka anti ilmu yang disebut dalam Alquran,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa dalam menentukan awal Ramadan, beberapa ulama lebih memilih menunggu pengumuman pemerintah, sementara para ahli hisab sudah lebih dahulu mengetahui kepastian awal bulan.
“Kemarin saya ditanya, ‘Gus, nanti tarawih apa tidak?’ Saya jawab, ‘Tidak! Aneh-aneh. Tidak perlu menunggu pengumuman pemerintah. Orang alim kok disuruh menunggu pengumuman pemerintah.’”
Menurutnya, keputusan yang berdasarkan kesepakatan ahli hisab bisa langsung dijadikan pegangan, tanpa harus menunggu pengumuman resmi, asalkan ada kesepakatan bahwa posisi hilal sudah memenuhi syarat.
Penjelasan Gus Baha menegaskan bahwa hisab dan rukyat bukan dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya merupakan ilmu yang berasal dari Alquran dan tradisi keilmuan Islam.
- Hisab adalah ilmu pasti yang bisa menghitung posisi bulan dengan sangat akurat dan disebutkan dalam Alquran.
- Rukyat tetap penting, terutama jika ada perbedaan hasil dalam perhitungan hisab yang belum mencapai kesepakatan.
- Perbedaan hisab dan rukyat tidak boleh dijadikan alasan perpecahan di antara umat Islam.
- Dikotomi NU-rukyat dan Muhammadiyah-hisab adalah kesalahan, karena keduanya seharusnya saling melengkapi.
- Keputusan penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri sebaiknya berdasarkan kesepakatan para ahli, bukan sekadar mengikuti ormas atau kepentingan politik.
Dengan demikian, Gus Baha mengajak umat Islam untuk lebih memahami ilmu hisab dan rukyat secara ilmiah serta tidak terjebak dalam konflik identitas organisasi.