Reliji  

Bantahan Islam Soal Nikah di Bulan Suro Bisa Membawa Sial

Menikah adalah keputusan besar yang tak jarang melibatkan pertimbangan budaya dan kepercayaan lokal. Di Indonesia, salah satu kepercayaan yang masih cukup kuat adalah larangan menikah di Bulan Suro, bulan pertama dalam kalender Jawa yang dianggap keramat. Itulah mengapa banyak calon pengantin dan keluarga yang memilih menunda akad hanya karena takut akan nasib buruk.

Namun, benarkah Bulan Suro benar-benar membawa kesialan bagi pasangan pengantin baru? Ataukah ini hanya mitos yang diwariskan turun-temurun? Untuk menjawab itu, liputan6.com mencoba membongkar fakta di balik larangan menikah di bulan Suro. Simak informasinya berikut, dirangkum Rabu (2/7).

1. Asal Usul Larangan: Tradisi Kejawen yang Diwariskan Turun-Temurun

Larangan menikah di Bulan Suro tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari sistem kepercayaan Kejawen yang sangat melekat di kalangan masyarakat Jawa. Dalam tradisi ini, Bulan Suro dianggap bulan keramat karena menjadi momen spiritual yang berdekatan dengan dunia gaib dan arwah leluhur. Maka dari itu, segala bentuk pesta atau perayaan dianggap menodai kesakralan waktu tersebut.

Konon, menikah di Bulan Suro diyakini akan mengundang bala atau nasib buruk. Tradisi ini mengakar sejak era kerajaan Mataram dan diperkuat melalui cerita rakyat, primbon, hingga kebiasaan para orang tua zaman dulu yang melarang anak-anaknya menikah pada bulan ini. Kebiasaan ini pun diwariskan lintas generasi hingga dipercaya sampai sekarang.

“Mitosnya, apabila tetap dilaksanakan akan ada bala atau musibah yang terjadi di rumah tangga seseorang yang bersangkutan, seperti perceraian atau sering terjadi gangguan sehingga memunculkan suasana panas,” tulis, Alik Ulfatus Solikah dalam buku Corak Budaya Indonesia dalam Bingkai Kearifan Lokal (2024:85).

2. Perspektif Islam: Tidak Ada Dalil Melarang Menikah di Bulan Muharram

Dalam Islam sendiri, sebenarnya bulan Suro identik dengan Bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Justru Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum), tetapi bukan untuk dijadikan dasar pantangan dalam pernikahan. Tidak ditemukan satu pun dalil sahih yang menyatakan bahwa menikah di Bulan Muharram atau Suro dilarang atau membawa sial.

Menurut Hadis Riwayat Abu Daud nomor 3850 dalam At Tirmidzi nomor 1614 yang sahih menurut Al Albani – Shahih Abu Daud yang meyakini suatu hal di luar ketetapan Allah sudah termasuk syirik. Fenomena ini agaknya dirasakan oleh banyak umat manusia, termasuk saat meyakini menikah di bulan ini adalah terlarang.

الطِّيَرةُ شِركٌ. الطِّيَرةُ شِركٌ. الطِّيَرةُ شِركٌ. وما منَّا إلَّا ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتوكُّلِ

“thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik. Dan tidaklah seorang pun di antara kita kecuali pernah merasakannya, namun Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal” mengutip muslim.or.id.

3. Dampak Sosial: Jadwal Nikah Mundur, Biaya Membengkak

Kepercayaan bahwa menikah di Bulan Suro membawa sial tidak hanya memengaruhi mental calon pengantin, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi. Banyak pasangan harus menunda pernikahan, bahkan sampai berbulan-bulan, demi menghindari tanggal yang dianggap “angker”. Akibatnya, berbagai biaya seperti sewa gedung, katering, dan dokumentasi bisa melonjak karena harus menyesuaikan ulang jadwal.

Lebih dari itu, ada tekanan sosial dari keluarga besar yang kadang masih memegang teguh tradisi ini. Calon pengantin yang berani menikah di Bulan Suro dianggap melawan norma dan bisa jadi bahan omongan warga. Fenomena ini menciptakan konflik antara logika modern dan tradisi lokal yang terus bertahan. Padahal Rasulullah menyebut tidak ada hari sial atau hari buruk, sesuai Hadis Riwayat Muslim

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ

“Tidak ada penyakit (menular dengan sendirinya) dan tidak ada kesialan (yang menghentikannya berbuat sesuatu)” dikutip dari Nu Online.

4. Fenomena Global: Negara Lain Tidak Mengenal Pantangan Serupa

Jika kita membandingkan secara global, hampir tidak ada budaya lain di luar Indonesia yang memiliki pantangan menikah di awal tahun penanggalan. Bahkan dalam tradisi Tionghoa, pernikahan sering justru dilakukan di bulan pertama Imlek sebagai lambang keberuntungan dan awal yang baru. Ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap “bulan sial” sangat relatif dan terikat budaya lokal.

Lalu dalam Institusi Dar al‑Iftāʾ al‑Miṣriyyah (Mesir) dalam fatwa tertanggal 17 Februari 1957 juga dikatakan bahwa tidak ada larangan menikah di waktu atau bulan tertentu.

“Tidak ada dalil agama yang melarang menikah di bulan Muharram. Bahkan, hukumnya sama seperti bulan lainnya.”

Hal ini juga menunjukkan bahwa anggapan tentang nasib buruk karena menikah di waktu tertentu tidak bersifat universal. Sering kali, mitos ini hanyalah produk dari konstruksi sosial yang bisa berbeda antar budaya.

Pertanyaan dan Jawaban Seputar Topik (People Also Ask)

1. Apakah menikah di Bulan Suro benar-benar membawa sial?

Tidak ada bukti ilmiah atau dalil agama yang menyatakan demikian. Itu hanya kepercayaan budaya.

2. Apa alasan utama masyarakat Jawa menghindari menikah di Bulan Suro?

Karena Bulan Suro dianggap sakral dan penuh ritual spiritual, termasuk untuk arwah leluhur.

3. Bagaimana pandangan Islam terhadap pernikahan di Bulan Suro?

Islam tidak melarang menikah kapan pun, termasuk di Bulan Suro (Muharram dalam Islam).

4. Apakah menikah di Bulan Suro sah menurut hukum agama dan negara?

Sah sepenuhnya selama memenuhi syarat-syarat pernikahan yang berlaku.

5. Apa tips mengatasi tekanan keluarga yang masih percaya mitos ini?

Libatkan tokoh agama atau penjelasan logis agar keluarga memahami bahwa mitos ini tidak berdasar.