Pengamat intelijen dan geopolitik, Amir Hamzah, membeberkan dugaan keterlibatan dua negara adidaya—Amerika Serikat dan China—dalam operasi intelijen dunia maya bertajuk Operasi Fiber, yang menyasar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Operasi ini disebut tidak hanya berupa serangan siber terhadap infrastruktur digital milik pemerintah Indonesia, tetapi juga menyusup ke ruang opini publik lewat berbagai platform media sosial dan pemberitaan internasional.
Menurut Amir, intensitas operasi ini meningkat tajam setelah pengesahan Undang-Undang TNI yang memberikan kewenangan lebih luas kepada militer, termasuk dalam peran-peran sipil dan penanganan non-perang. “Disahkannya UU TNI menjadi titik sensitif bagi dua kekuatan global. Mereka khawatir Indonesia bergerak ke arah yang tidak lagi sejalan dengan kepentingan geopolitik mereka,” ujar Amir dalam pernyataan kepada Radar Aktual, Sabtu (19/4).
Operasi Fiber, menurut Amir, adalah istilah untuk menyebut operasi intelijen digital dengan memanfaatkan jaringan internet berkecepatan tinggi untuk melakukan dua hal utama: (1) penggalangan opini publik lewat infiltrasi media sosial dan media online; dan (2) penetrasi sistem keamanan siber pemerintah, termasuk situs kementerian dan lembaga strategis.
Serangan dilakukan secara sistematis dengan pola “high frequency-low trace”, artinya serangan terjadi terus-menerus dalam intensitas tinggi tetapi dengan jejak digital yang disamarkan. “Ini bukan lagi perang tank dan rudal, ini perang pikiran dan persepsi yang menyasar ke pusat-pusat pengambilan keputusan nasional,” tambah Amir.
Pasca disahkannya UU TNI, sejumlah media asing seperti The Guardian, Al Jazeera, hingga The Washington Post mulai mengangkat isu tentang “militerisasi pemerintahan sipil” di Indonesia. Pemberitaan ini dikemas dengan narasi kekhawatiran akan kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo.
“Ini bukan kebetulan. Mereka membentuk opini internasional agar Indonesia ditekan melalui forum-forum global, seperti Dewan HAM PBB, G20, atau IMF-WB. Targetnya adalah delegitimasi kebijakan nasional Indonesia,” ujar Amir.
Amir memperingatkan bahwa jika tidak ditangani dengan serius, Operasi Fiber bisa memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini dapat berujung pada instabilitas sosial-politik, bahkan kerusakan relasi diplomatik dengan negara mitra.
Untuk itu, ia merekomendasikan penguatan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pembentukan unit khusus kontra-informasi di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta koordinasi intelijen yang lebih erat antara BIN, TNI, dan Polri.
Pemerintahan Prabowo kini berada di persimpangan geopolitik yang semakin tajam. Di satu sisi, Prabowo menjalin kedekatan dengan Tiongkok melalui kerja sama ekonomi dan pertahanan. Di sisi lain, Amerika Serikat tetap memandang Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Indo-Pasifik untuk membendung pengaruh Beijing.
UU TNI yang memperkuat militer bisa dilihat sebagai upaya Indonesia memperkokoh kemandirian pertahanan dan ketahanan nasional. Namun, bagi negara asing yang terbiasa mencampuri urusan domestik negara berkembang, langkah ini dipandang sebagai potensi “ancaman” atas dominasi mereka.
Operasi Fiber bukanlah sekadar isu teknis siber, tetapi cerminan dari perebutan pengaruh atas arah politik Indonesia ke depan.
Menghadapi ancaman tak kasat mata ini, Prabowo tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan militer konvensional. Pertarungan opini, narasi, dan kontrol atas informasi menjadi medan perang baru yang menentukan kedaulatan bangsa.
“Saatnya Indonesia punya pertahanan narasi, bukan hanya pertahanan teritori,” tegas Amir.