News  

LD FEB UI Soroti Turunnya Angka Kelahiran, Jakarta dan Bali Terancam Depopulasi

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menekankan pentingnya perencanaan keluarga sebagai investasi strategis untuk pembangunan dan pengendalian penduduk.

Keluarga juga bukan sekadar unit terkecil dalam masyarakat, tetapi merupakan benteng utama dalam menjaga keseimbangan demografi Indonesia.

Hasil Studi Policy Dialogue; “Masa Depan Penduduk Indonesia: Kebijakan dan Strategi untuk Menghadapi Potensi Depopulasi” yang diluncurkan untuk memperingati Hari Keluarga Internasional 15 Mei 2025, mengungkapkan bahwa tingkat kelahiran di beberapa daerah menurun.

Studi ini dilaksanakan sejak November 2024 dengan pendekatan kualitatif melalui diskusi kelompok terarah (FGD) bersama pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah, antara lain Kementerian Kesehatan, BKKBN, Bappenas, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta para ahli dan praktisi di bidang demografi dan kesehatan.

Ini adalah sinyal yang cukup mengkhawatirkan. LD FEB UI memperingatkan bahwa jika tidak direspons secara tepat, tren ini bisa memicu depopulasi di beberapa daerah.

Indonesia diprediksi belum akan mengalami depopulasi secara nasional hingga 2050, namun temuan dari hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa dua provinsi sudah berada di garis depan, yaitu DKI Jakarta dan Bali.

Proyeksi menunjukkan bahwa Jakarta bisa mulai mengalami pertumbuhan penduduk negatif pada 2026, disusul Bali pada 2046.

“Depopulasi berpotensi menimbulkan dampak yang luas, mencakup sektor ekonomi, sosial-politik, infrastruktur, hingga inovasi. Secara ekonomi, penurunan jumlah tenaga kerja dan perubahan komposisi penduduk dapat meningkatkan angka ketergantungan dan memberi tekanan pada sistem jaminan sosial,” ujar Turro Wongkaren dalam FGD Policy Dialogue.

“Dari sisi sosial-politik, migrasi masuk akibat kekurangan tenaga kerja bisa menimbulkan gesekan budaya jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu, infrastruktur seperti sekolah bisa tidak lagi terpakai, layanan publik berubah, dan tekanan untuk berinovasi ikut menurun seiring menyusutnya jumlah penduduk,” sambungnya.

Secara nasional, angka kelahiran di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Total Fertility Rate (TFR) Indonesia turun drastis dari 5,61 pada tahun 1970 menjadi 2,18 pada tahun 2020.

Artinya, rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh setiap perempuan telah berkurang dari lima menjadi dua dalam kurun waktu 50 tahun. Badan Pusat Statistik juga memproyeksikan bahwa TFR Indonesia akan terus menurun hingga tahun 2045. Tren ini berpotensi meningkatkan risiko depopulasi di masa mendatang.

Disparitas juga terlihat: DKI Jakarta dan Bali memiliki TFR rendah, sementara Papua dan NTT masih tinggi. Bahkan dalam satu provinsi, perbedaan ekonomi dan pendidikan turut memengaruhi angka kelahiran.

Sebagai contoh di DKI Jakarta, beberapa wilayah kecamatan yang rata-rata penduduknya memiliki kelas ekonomi ke atas memiliki tingkat kelahiran yang rendah, tetapi wilayah dengan rata-rata penduduk kelas menengah ke bawah memiliki tingkat kelahiran yang masih tinggi.

Dengan adanya disparitas tersebut, upaya mendorong dan mempertahankan tingkat kelahiran guna mencegah depopulasi harus mempertimbangkan berbagai faktor. Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan perlu diperhatikan secara cermat.

LD FEB UI pun merekomendasikan empat arah kebijakan utama sebagai respons terhadap ancaman depopulasi.

Kebijakan Non-medis terdiri dari 2 Langkah; yaitu peningkatan akses dan kualitas penitipan anak serta pengelolaan migrasi dengan pendekatan lokal.

Kebijakan Medis juga terdiri dari 2 langkah, yaitu peningkatan layanan infertilitas di fasilitas dasar dan pengakuan infertilitas sebagai penyakit agar ditanggung BPJS.

Kebijakan ini diharapkan mampu mempertahankan angka kelahiran, mencegah depopulasi, dan menjaga keseimbangan demografi nasional.(Sumber)