News  

Turun 13 Peringkat, Daya Saing RI Kini Hanya di Peringkat 40 Dunia, Terendah di ASEAN

Indonesia mencatat kemerosotan tajam dalam peringkat daya saing global 2025 yang dirilis IMD World Competitiveness Center (WCC).

Setelah tiga tahun berturut-turut mengalami kenaikan, tahun ini Indonesia merosot 13 peringkat ke posisi 40 dari 69 negara—penurunan terdalam di antara negara Asia Tenggara.

Padahal, pada 2024 lalu, Indonesia sukses menembus posisi 27 dalam daftar World Competitiveness Ranking (WCR), naik signifikan dari posisi 44 pada 2022. Namun, efek guncangan global, khususnya perang tarif terhadap Asia Tenggara, serta lemahnya struktur ekonomi domestik, menjadi faktor penyebab kejatuhan ini.

“Pasca pandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik. Kenaikan sebelumnya didongkrak oleh nilai ekspor migas dan komoditi. Namun, perang tarif yang ditujukan ke kawasan ini berdampak besar pada penurunan tajam sekarang,” kata Arturo Bris, Direktur IMD World Competitiveness Center, dalam keterangannya.

Penurunan 13 peringkat ini membuat Indonesia sejajar dengan Turki sebagai negara dengan kejatuhan terdalam tahun ini. Turki terpuruk karena krisis mata uang, sementara Indonesia tergelincir di hampir semua faktor yang diukur IMD.

Di kawasan Asia Tenggara, tiga dari lima negara yang disurvei mengalami penurunan. Thailand merosot lima peringkat, Singapura turun satu. Sebaliknya, Malaysia melonjak 11 peringkat ke posisi 23, dan Filipina naik satu peringkat ke posisi 51—didorong oleh kebijakan digitalisasi dan investasi industri yang strategis.

Daftar lima negara ASEAN dengan peringkat daya saing tertinggi versi IMD 2025:

Singapura: Peringkat 2 (turun 1)
Malaysia: Peringkat 23 (naik 11)
Thailand: Peringkat 30 (turun 5)
Indonesia: Peringkat 40 (turun 13)
Filipina: Peringkat 51 (naik 1)
Dan berikut 5 besar peringkat daya saing :

Swiss
Singapura
Denmark
Irlandia
Hong Kong SAR

Krisis Struktural dan Ketimpangan

Penurunan tajam Indonesia terutama dipicu lemahnya efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Hanya satu faktor yang stagnan, yakni performa ekonomi.

Survei IMD mencatat bahwa 66,1% eksekutif di Indonesia menganggap minimnya peluang ekonomi sebagai penyebab utama polarisasi sosial. Ketimpangan struktural, terbatasnya penciptaan lapangan kerja, hingga lemahnya kualitas SDM menjadi sorotan.

Sebagai perbandingan, hanya 11,1% eksekutif Denmark yang melihat isu serupa, menunjukkan kesenjangan yang besar antara negara berkembang dan negara maju dalam hal inklusi ekonomi.

Skor Merah: Pendidikan, Kesehatan, dan Teknologi
Di aspek infrastruktur, Indonesia terpuruk dalam indikator belanja kesehatan (peringkat 68 dari 69), belanja pendidikan (66), jumlah paten berlaku (66), dan kecepatan internet (66). Bandwidth rata-rata internet di Indonesia hanya 28,9 Mbps—jauh dari rata-rata global 138 Mbps.

Di bidang efisiensi bisnis, peringkat Indonesia turun dari 14 ke 26. Penyebabnya antara lain keterbatasan akses tenaga kerja asing dan layanan keuangan, serta produktivitas yang rendah.

Dalam efisiensi pemerintah, kerangka institusional anjlok dari peringkat 25 ke 51. Pemerintah dinilai belum optimal dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan prosedur birokrasi yang efisien.

“Efisiensi pemerintah jangan menjadi cita-cita ideal semata, tetapi harus dipraktikkan agar bisa membangun ketahanan ekonomi dan daya tarik investasi,” tegas Arturo Bris.

Rekomendasi: Reformasi Struktural
Lembaga Manajemen FEB UI, mitra riset IMD di Indonesia, menyarankan perombakan menyeluruh, terutama dalam penguatan SDM produktif dan perencanaan pembangunan dari hulu ke hilir.

Peringkat buruk Indonesia di bidang pendidikan (62), kesehatan (63), dan efektivitas institusi (51) menunjukkan perlunya investasi serius pada fondasi pembangunan jangka panjang.

Jika tidak, ancaman stagnasi daya saing bisa menjadi penghalang utama dalam mengejar target pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.(Sumber)