Fasisme dan Barbarian Di Tengah Pandemi COVID-19

Corona yang menghentak seisi dunia sekarang, seakan tak luput menjadi keprihatinan global karena nyaris seluruh negara dunia terpapar dengan wabah yang telah dinyatakan WHO sebagai pandemik global ini.

Sebagai pandemik global sebenarnya bukan sejarah baru bagi kita. Dunia pernah mengalamai flu Spanyol pada 1918 yang menjangkiti 100 juta penduduk bumi dan menewaskan 50 juta manusia dalam 3 gelombang serangannya. Lalu abad 21 kita juga mengenal serbuan famili corona juga seperti SARS (Flu Burung) dan MERS (Flu Onta).

Namun teror lainpun mengancam kita, mengancam kehidupan demokrasi didepan mata. Kita dikagetkan dengan ancaman pembunuhan wartawan detik.com karena penulisan beritanya tentang Presiden Jokowi dalam pembukaan Mall di Bekasi.

Lalu kita juga terhentak dengan pembubaran diskusi di UGM dan ancaman atas dekan Fakultas Hukum UII, keduanya di Jogja. Oleh para akademisi dianggap sebagai ancaman serius atas kebebasan akademik kampus sebagai sebuah center of excellence bagi ilmu pengetahuan dalam bentuk apapun. Organisai Wartawan pun bereaksi atas ancaman terhadap nyawa wartawan karena pemberitaannya.

Sementara diujung sana dunia dihentakkan dengan kerusuhan di Minneapolis, Amerika Serikat, karena tindakan brutal polisi yang menewaskan George Floyd, seorang warga Black American. Kerusuhan sosialpun merebak hingga New York, Los Angeles, Houston, Atlanta dan kota-kota lainnya di Amerika sebagai bentuk protes atas kesewenang-wenangan aparat tersebut.

Bahkan 3 wartawan CNN yang tengah meliput peristiwa tersebut ikut ditahan dan diborgol didepan umum oleh polisi. Salah satunya adalah reporter CNN Omar Jimenez. Sangat mengenaskan memang. Namun segera Gubernur Minnesota meminta maaf atas tindakan penahanan tersebut dan ketiga wartawn CNN tersebut pun dibebaskan.

Madeleine Albright, mantan menlu Amerika Serikat, pada 2018 menuliskan sebuah buku yang menarik untuk dicermati; Fascism in Warning. Madeleine yang pengungsi dari Cekoslowakia yang lolos dari kekejaman holocaust Nazi pada Perang Dunia ini, seakan memberi peringatan dini akan bahaya fascism didepan mata. Doktor hukum internasional lulusan Columbia University ini, mungkin tidak setara dengan Menlu Amerika Serikat keturunan Yahudi seperti Dr. Henry Kissinger yang legendaris tersebut.

Namun ia juga berpengalaman sebagai anggota National Security Council dan menjadi Duta Besar AS bagi PBB sebelum menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dibawah pemerintahan Bill Clinton. Sebagai keluarga yang lolos dari kepungan pendudukan Hitler di Cekoslowakia tersebut, tentu menjadi cerita sendiri bagaimana fascisme bisa meluluhlantakkan kemanusiaan dengan rasisme.

Hari ini, ditengah serbuan pandemik, kita membaca berita tentang diskrimasi warga kulit hitam di China hingga kasus Minneapolis Amerika, sementara protes di Hongkong yang terus berlanjut karena produk legislasi yang diskriminatif dimata penduduk Hongkong, menjadi berita utama dimana-mana. Artinya warning Madeleine Albright yang ditulis 2018 tersebut sekarang hadir di didepan mata kita secara telanjang.

Sementara seorang filsuf komunis Slovennia Slavoj Zizek, juga baru saja menuliskan bukunya Pandemic Panic Covid-19 Shake The World. Sebagai filsuf Marxis kontemporer, Zizek seakan menghentakan kita akan kepanikan global akibat pandemik corona ini.

Ia mengingatkan bahwa dunia butuh kesadaran bersama, dan tidak terjebak pada perbedaan kelas, agama, etnik dan ras, karena perbedaan menjadi tidak bermakna lagi sekarang.

Dunia tengah memasuki sebuah proses reorganisasi dan restrukturisasi global dimana kekuatan ekonomi pasar menjadi berantakan sama sekali. Bahkan Zizek menandai akan berakhirnya peradaban Barat yang berbasis kapitalisme dan pasar bebas. Zizek bahkan memprediksi neo-komunisme akan segera hadir karena pandemik ini.

Entah Zizek pernah membaca kolumnist CNN Fareed Zakaria yang pernah menulis bukunya Post American World pada 2008 tersebut atau tidak. Kita di Indonesia pun tak luput dari isyu bangkitnya hantu komunisme ini. Dunia dihadang komunisme dan barbarianisme. Dalam perspektif Francis Fukuyama, manusia semakin terjebak pada megalothymia, sebuah hasrat purba untuk diakui sebagai superior.

Memang rektor IPB, Arif Satria dan cendikiawan Komaruddin Hidayat, menyebutkan bahwa dunia sedang di re-install. Alam seakan melakukan natural selection dengan caranya sendiri, meminjam terminologinya naturalist Alfred Russel Wallace dalam The Letter from Ternate.

Tentu corona yang hadir, telah memicu disrupsi- disrupsi besar, termasuk benturan disana sini, terutama bagi kekuatan global yang selama ini berebut hegemoni atas dunia, mengekslpoitasi bumi atas nama mereka. Lihatnya eskalasi memanasnya situasi Laut China Selatan, telah terjadi pamer kekuatan militer PLA (People Liberation Army) nya RRC dan Amerika Serikat dengan beberapa negara sekutu pada Pacific Rim.

China yang pernah menolak keputusan Mahkamah Internasional Den Haag atas kedaulatan Filipina atas Laut Kepulauan Spratly, juga Paracel, dan membuat garus putus-putus dengan alasan itu adalah wilayah tradisionalnya, diklaim balik oleh Vietnam, Brunei, Malaysia. Sekarang armada Amerika Serikat tentu didukung negara-negara tersebut, selain Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapore. Karena konflik LCS ini, intinya memperebutkan sumber daya alam terbesar yang dikandung Laut China Selatan tersebut. Indonesiapun ketika menetapkan nama atas Laut Natuna, mendapat protes resmi dari Menlu China. Bahkan insiden kapal ikan China yang memasuki perairan Natuna turut dikawal armada China beberapa waktu lalu.

Indonesia menghadapi pertarungan antara Indo-Pasifik yang dimotori Amerika Serikat dan konsep OBOR (One Belt One Road) dan BRI (Belt and Road Initiative) yang di inisiatif oleh RRC tersebut. Eskalasi ini tentu turut dipicu oleh hadirnya pandemik global corona, dan Kongres Amerika menggunakan kasus diskriminatif RRC atas muslim Uyghur sebagai alasan lainnya.

Padahal bahaya corona tengah memasuki fase gelombang kedua, Korea Selatan misalnya, tengah berhadapan dengan serangan gelombang kedua ini. Bahwa new normal masih ‘on a big question mark.’ Karena new normal tidak lagi identik dengan kembali ke kehidupan seperti sedia kala. Ia berbeda dengan normalisasi. Kita juga dengan nekat berhasrat memenuhi syahwat politik dengan merencanakan menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2020 nanti. Padahal vaksin covid belum juga hadir, walaupun sejumlah negara telah mengklaim menemukannya.

Dalam sebuah webinar tentang corona yang dilaksanakan oleh ilmuan-ilmuan muda, saya mendapatkan informasi dari Jaelani Husain,Msc,Ph.D dosen senior di Manado, bahwa temuan virus tersebut membutuhkan uji klinis minimal satu tahun delapan bulan. Sementara diluar sana, 68 negara resmi melakukan larangan bagi warga Indonesia untuk memasuki negara-negara tersebut karena pandemi.
Nakh lho !!

Wallahu a’lam. Batavia, 30 Mei 2020
DR. Saiful Bahri Ruray, Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI 2014-2019 dari Maluku Utara dan Ketua Depidar  XXIX SOKSI Maluku Utara 2004-2019