News  

JATAM: UU Cipta Kerja Bawa Indonesia Ke Neo Orde Baru

Salah satu klaster dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah terkait lingkungan. Ada sejumlah pasal yang dikritisi aktivis lingkungan hidup, salah satunya mengenai penghilangan kewenangan daerah yang diambil oleh pemerintah pusat.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah menyebut saat ini Indonesia akan beralih seperti Orde Baru dulu. Bahkan lebih parah.

“Apakah neo Orde Baru atau Orde Baru plus. Entahlah yang cocok apa,” kata Merah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).

“Kalau hanya pemusatan aja, mungkin mirip Orde Baru tapi ini diikuti dengan penghilangan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan,” tambahnya.

Merah menjelaskan bahwa ciri-ciri Orde Baru dulu adalah sentralistik atau semua kebijakan diambil dari pemerintah pusat. Berbeda halnya ketika Orde Baru runtuh dan Indonesia menerapkan konsep otonomi daerah.

Pemerintah daerah jadi memiliki kewenangan selaku perwakilan dari pemerintah pusat. Salah satu kewenangannya mengenai pemberian izin lingkungan.

Akan tetapi, wewenang pemda tersebut juga dicabut lewat RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Misalnya, dalam Pasal 20 Ayat (3) butir b UU No. 32 tahun 2009. Dalam beleid tersebut, setiap orang berhak mendapat izin lingkungan jika sudah mendapat menteri, gubernur dan bupati/walikota.

Lihat juga: UU Ciptaker Sah, Wewenang Pemda Beri Izin Lingkungan Hilang
Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, bunyi ayatnya diganti menjadi pemerintah. Gubernur dan bupati wali kota tidak disebutkan secara gamblang.

Kemudian dalam UU No. 32 tahun 2009 Pasal 29 Ayat (1). Di sana disebutkan bahwa dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur atau bupati/walikota. Namun, pasal tersebut dihapus dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Komisi Penilai amdal ditiadakan. Gantinya adalah tim baru yang terdiri dari unsur pemerintah, daerah dan ahli.

“Unsur pemerintah daerah di situ hanya sebagai pelengkap saja karena esensinya kan pemusatan kewenangan di pemerintah pusat. Cuma formalitas,” kata Merah.

Lalu pada Pasal 31 UU No. 32 tahun 2009 disebutkan bahwa menteri, gubernur dan bupati/wali kota serta Komisi Penilai Amdal menetapkan keputusan kelayakan lingkungan. Pasal tersebut dihapus di Omnibus Law.

“Apalagi sekarang itu amdal hanya untuk yang berisiko tinggi. Dia membuat kategori risiko rendah dan sedang,” kata Merah.

Ada pula pasal yang menghilangkan peran pemerhati lingkungan dalam proses pembuatan Amdal. Menurut Merah, hal itu membuat masyarakat yang terdampak langsung jadi tidak bisa didampingi pemerhati lingkungan.

“Jadi ini selain pemusatan, sebenarnya juga menghilangkan peran serta masyarakat. Itu berarti satu bentuk negara yang diselenggarakan tanpa rakyat,” kata Merah.

Belum lagi soal pengawasan dan penegakan hukum yang hilang di Omnibus Law. Menurut Johan, hal ini menjadi sangat berbahaya karena pengusaha hanya sebatas diberikan sanksi administratif.

Padahal seharusnya, kata Merah, pemerintah lebih menekankan soal pengawasan terhadap investasi dan kegiatan lingkungan karena saat ini lebih banyak investor yang ingin masuk ketimbang masa Orde Baru dulu.

“Nah itu semua kan hilang juga. Pengawasannya sudah dipreteli, penegakan hukumnya jadi administrasi semua. Pidananya sudah dihilangkan,” kata Merah.

“Jadi pakai prinsip hukumnya mengedepankan prinsip administrasi peristiwa hukum yg berkaitan dengan lingkungan hidup. Itu lebih berbahaya lagi karena ga ada penegakan hukum jadinya,” sambungnya. {CNN}