News  

Balada Tantowi di Negeri LOtR

Sabtu lalu, 13 Maret 2021, tepat hari pertama tahun keempat Tantowi Yahya mendapat kepercayaan sebagai Dutabesar Republik Indonesia di Tonga – Samoa – Selandia Baru. Seminggu sebelumnya, tugas Tantowi bertambah sebagai wakil pemerintah RI pertama untuk Kepulauan Cook.

Mudahnya, Tantowi bertugas di Tossebar Cook. Entah sebagai tukang masak. Yang jelas bukan sebagai pengamen.

Sementara, sudah lebih dari setahun Tantowi menjadi Dutabesar Keliling RI untuk 20 negara di Kawasan Pasifik. Area penuh air melimpah yang membuat mimpi siapapun yang mengenal kehidupan di nusantara, baik maritim, sungai, danau, hingga gunungnya, terasa menjadi telaga kecil.

Tak terkecuali bagi saya, tentu. Saya menyebut Tantowi sebagai Sang Baladawan. Terus terang, saya ‘menangisi’ kepergiannya bersama dengan Yuddy Chrisnandi, sebagai duta besar. Dua orang sahabat. Dua orang seniman.

Dua orang maestro. Satu ‘tercampak’ ke selatan. Satu terbuang ke utara dengan hanya delapan puluh warga negara Indonesia. Tentu, saya paling merutuk diri atas kepergian Tantowi dalam percakapan panjang kami berdua.

Setiap saat, saya membaca berita tentang kedua sosok ini. Yuddy, sudah meluncurkan buku “Dari Kyiv Menulis Indonesia” dengan editor Safrizal Rambe, salah seorang anggota saya dari 24 orang Tim Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2014-2016. Kyiv, ibukota Ukraina, tempat Yuddy bertugas.

Tantowi, lumayan sering muncul di sejumlah grup. Terkadang, perasaan ‘iseng’ Tantowi muncul, bertanya soal isu politik ke saya. Dan tentu saya pura-pura tidak membaca pertanyaannya. Politik, biarlah bukan urusan saya, apalagi Yuddy atau Tantowi, ketika kami berkesempatan berdiskusi.

Ketika Tantowi menyebut koperasi adalah pilar ekonomi negara Selandia Baru, tentu bersama sejumlah negara Skandinavia dalam konsep negara kesejahteraan, terdapat kekaguman terhadap angka kecil gini rasio di negara berjuta lembu itu.

Seakan tersedak, Tantowi menyebut nama Peter Jackson, sutradara the Lord of the Rings (LOtR), kalau mau menemukan seseorang dalam kategori kaya di Selandia Baru.

Pemerataan kesejahteraan dan kesetaraan pendapatan penduduk Selandia Baru terdapat dari adopsi yang serius kepada koperasi sebagai soko guru ekonomi.

Mana mau saya percaya, seorang produser film bisa menjadi kaya raya. Saya periksa halaman Forbes. Larut dalam sejumlah bacaan. Benar saja, sejumlah nama muncul sebagai orang terkaya yang termasuk kelas dunia, adalah warga negara Selandia Baru. Peter Jackson?

Nama yang terkenal, membahana. Namun, siapalah dia, dibandingkan dengan petrodollar yang diperoleh dari investasi.

Tapi, bagi Tantowi? Bagi saya? Bagi dunia film Indonesia? Jackson adalah Rahwana dari kaum raksasa.

Sebagai orang yang pernah beberapa tahun menjadi Manager Program Yayasan SET pimpinan Garin Nugroho, saya tahu betul bagaimana sulitnya seorang Garin mendapatkan pembiayaan atas film-filmnya, dari dulu, kini, hingga nanti.

Dimana masalahnya? Saya ajukan pertanyaan sulit itu kepada Tantowi, pada tanggal 9 Maret 2021 kemaren. Saya bilang, tulisan akan muncul keesokan harinya. Dan butuh sepuluh hari mengerjakan tulisan kedua saya ini di tahun 2021.

Bukan apa-apa, saya sedang sibuk dengan sesuatu yang memang dasar keahlian saya, seorang perekayasa. Tak menyukai bahasa, namun telanjur juara di bidang matematika, akrab dengan fisika dan kimia, serta keseharian di bidang biologi sebagai anak kampung.

Saya masih ingat, betapa sering kena omelan, ajaran, dari Mbak Clara Jowono atau Ibu Asnani Usman. “Seorang scholar, tidak berbicara seperti kamu!” begitu, kira-kira. Dan politik keseharian, makin ke sini, membuat cara bertutur saya semakin manis.

Tak ada orang yang mampu membuat saya kembali kepada kekasaran sikap seorang aktor, selain tentu para seniman di ranah politik. Tantowi, ada di ranah itu.

Saya tanyakan, kenapa di Indonesia sulit bikin film kolosal? Takut kaya seperti produser LOtR, Peter Jackson? Ada ribuan pulau. Ada ratusan gunung. Lembah. Danau. Kenapa sulit hadirkan outlet untuk para sineas bermain di sini?

Jawaban Tantowi berbau ekonomis. Orientasi produser dan pemodal film Indonesia masih ke pasar lokal. Sementara, pangsa pasar dilihat dari selera kebanyakan penonton film Indonesia yang lebih menyukai cerita komedi dan kehidupan sehari-hari.

Biaya murah. Dari sisi teknik, tuntutan film kolosal tinggi, terutama di teknologi. Film kolosal yang menggunakan teknologi sederhana sudah pasti pasti akan bersaing lagi dengan film impor. Saya belum puas. Terus mendesak Tantowi kepada kehidupan hutan rimba.

“Apakah Bro menangkap ada semacam rasa hormat manusia kepada alam di NZ, sebaliknya di sini? Jadi sikap egaliter itu berarti luas: pun terhadap alam raya? Bro seorang baladawan!” tulis saya dalam chat.

Tantowi mengetik betapa Indonesia punya banyak cerita legenda dari berbagai daerah, maupun cerita kerajaan-kerajaan besar kita jaman dulu. Dari sisi cerita, kita kaya sekali, katanya meyakinkan saya.

Yang kita butuhkan produser atau pemodal yang berani bikin film kolosal seperti produksi NZ, Cina, Jepang dan Korea.

Saya tidak tahu, siapa yang pernah membaca buku begitu banyak, termasuk legenda apapun tentang Indonesia. Sejak kecil, saya selalu habiskan uang untuk mengejar seluruh buku cerita terkait itu.

Bahkan, sampai mengejar jenis-jenis hantu dan siluman yang hidup di Indonesia. Saya kolektor lengkap seluruh buku Kary May, contoh saja.

“Di Bali, ada Gunung Batur. Ada banyak legenda. Pun seniman. Tanpa bermaksud untuk mengoreksi, menurut Bro, apakah yang diperlukan adalah deepening (pendalaman) medan wisata – seni – alam – budaya.

Atau betul-betul menemukan pulau-pulau dewa yang baru? Apa arti wisata bagi warga NZ?” tulis saya, seakan tak bersalah. Tanpa bertanya, Tantowi entah dimana, sedang apa.

Agak lama Tantowi baru menjawab. Minta maaf, berhubung baru tiba di kediamannya. Saya menonton kediaman itu dalam acara Raffy Achmad. Apik. Epik.

Bagi Tantowi, kekayaan Indonesia di bidang pariwisata dan budaya sudah lebih dari memadai. Yang dibutuhkan adalah pendalaman. Itu yang dilakukan oleh otoritas pariwisata NZ.

Yang mereka sempurnakan adalah narasi terhadap kekayaan yang ada. Cerita mengenai Perjanjian Waitangi, eksplorasi James Cook di Pasifik terus dikembangkan. Wisatawan selalu mendapatkan cerita baru dari objek yang sama.

Memperbaharui narasi. Seperti lelaku nenek moyang kita. Hingga bertumpuk legenda, mitos, tertanam dalam satu nama. Sulit mengurai lagi aslinya. Saya kunci dengan pertanyaan, apakah Tantowi ada rencana bikin film?

“Pengen, Bro. Saya terobsesi angkat cerita legenda dan superhero Indonesia ke dalam sebuah film kolosal garapan Peter Jackson atau James Cameron,” begitu ulang Tantowi.

Astaganaga, bagaimana bisa orang seobsesif Tantowi yang bakal mengangkat cerita Godam, Gundala Putra Petir, Aquanus, Denny Manusia Ikan, Si Buta dari Goa Hantu, Mandala dari Sungai Ular, Maza, Bajing Ireng, Braja, Wiro Sableng, Petruk – Gareng – Bagong dalam versi super hero dari Tumaritis, Cindaku, Nini Pelet, Ni Roro Kidul, Nyi Roro Kidul, Nyai Roro Kidul, Puti Junjung Buih, dan segala macam nama hebat itu, ternyata wajib disodorkan website Forbes.

Saya membaca sejumlah wawancana Jackson, lalu percaya betapa dalam LOtR ada kekinian yang diselipkan dalam legenda.

Seperti saya menulis novel pertama. Orang-orang tahu, saya menulis cerita masa lalu. Dan lalu saya disumpahin oleh 66 gadis-gadis selatan itu.

Seorang Peter Jackson saja bakal bisa dilewati oleh sejumlah nama orang Indonesia. Saya percaya itu. Dan bukan Jackson yang mampu mencerna, kenapa saya memilih tak menyelesaikan membaca komik terakhir “Gundala Sampai Ajal” di Pasar Bawah Padang Panjang dengan menggigil, berjalan kaki berkilometer setelah uang saya habis, pada malam hari.

Kaki kecil saya sebagai anak SD, melangkah dari Padang Panjang menuju Nagari Air Angat, berbulan-bulan, tanpa nenek saya tahu.

Hingga kini, saya tak bakal mau membaca komik terakhir “Gundala Sampai Ajal” itu. Bukan. Bukan Jackson yang mampu membawa imajinasi ke dalam memori kolektif anak-anak nusantara.

Lalu, siapalah dia. Pada Januari 2020, terdapat 350 orang kaya baru di NZ dengan kekayaan di atas 50 Juta Dollar. Graeme Hart, rangking 127 dunia pada 2020, memiliki kekayaan 12.8 Milyar USD.

Richard Chandler, nomor 712 dunia, memiliki 2.9 Milyar USD. Peter Thiel, rangking 908, dengan 2.1 Milyar USD. Bisnis yang mereka terjuni, bertiga, investasi. Satu-satunya jenis bisnis yang tidak saya mengerti, lahir dan batin, dunia dan akherat.

Saya berharap, Tantowi tersesat dengan berita yang ditulis tahun 2006 tentang sepuluh besar orang terkaya Australia dan NZ. Ketika Hart masih memiliki 2.33 Milyar USD, kalah dibanding duo kakak beradik Richard – Christopher Chandler dengan 2.91 Milyar USD. Kenapa berharap?

Ternyata orang terkaya di Australia James Packer dengan 7.56 Milyar USD berbisnis di bidang Publishing and Broadcasting.

Huh! Penerbit buku dan cetakan. Sebagai orang yang – pernah – dikenal sebagai penulis termahal, termasuk pada tahun itu dengan menyeruput minuman kiwi kesukaan di toko buku Richard Ooh, saya setidaknya pernah berperilaku sebagai salah satu orang kaya yang tinggal di Tasmania, sebagai akun anonim, pada era berlangganan 80 mailing list dengan nama Si Butous.

Tantowi bermimpi setingkat di atas saya, produser film menjadi orang kaya di Indonesia. Saya masih berada di bawah, penulis bukulah yang memimpin dalam jumlah kekayaan.

Tak tahan guna menggoda, saya ajukan pertanyaan terakhir kepada Tantowi. “Kalau ada orang yg paling Bro benci dalam politik, lalu ada kesempatan untuk wawancara, segenerasi, 180 derajat berbeda: SIAPA?”

Sang Baladawan yang pernah berjanji mau bernyanyi di Kota Pariaman bersama saya itu menjawab bahwa tidak ada yang dia benci atau cinta dalam kehidupan politik.

Barangkali, Tantowi sudah keburu tercenung dengan sosok dalam jamu bernama Gatot Kaca, tulang kawat, kulit baja. Bahwa, ia kuat, ketika seluruh tokoh hebat dalam LoTR gugur!

Dan saya tahu, ucapan terakhir Tantowi itulah dusta terbesarnya. Tanpa cinta dan benci itu, ia barangkali masih berjualan gorengan bersama Helmy Yahya, di terminal. Saya tahu, Tantowi itu tak bakal hilang di selatan!

Jakarta, 19 Maret 2021
Indra J Piliang, Founder OGerilya.Com