News  

Agama Bisa Jadi Titik Tolak Kerjasama Ekonomi dan Budaya Antara RI dan Kazakhstan

Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES menyelenggarakan WebTalks bertema: “Diplomasi Indonesia di Asia Tengah” kemarin, Selasa, (15/6/2021).

Hadir sebagai pembicara: Rahmat Pramono (Dubes RI untuk Kazakhstan dan sekitarnya), Shishkha Prabawaningtyas (Direktur PGSD Univesitas Paramadina), Herdi Sahrasad (Dosen Universitas Paramadina) dan Bambang Susanto (Akademisi UPN Veteran Jakarta).

Shiskha Prabawaningtyas menuturkan, sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991 dan bermunculannya negara-negara baru di Asia Tengah. Juga pecahnya Yugoslavia dan Cekoslovakia disebut sebagai zaman baru dan mengakhiri era perang dingin.

“Muncul pula konsep baru dalam dunia hubungan internasional ihwal pemahaman tentang kedaulatan yang tidak hanya bicara hak sebuah pemerintahan untuk memerintah satu populasi di sebuah wilayah, tapi juga melekat kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.”

Shiskha melanjutkan, beberapa engagement baru seperti instrumen diplomasi Bahasa menarik untuk dikembangkan dalam hubungan strategis terkait kerjasama pengembangan SDM dengan negara-negara Asia Tengah.

“Ini merupakan peluang Indonesia karena Asia Tengah juga merupakan wilayah yang potensial.” kata Shiskha Prabawaningtyas.

Kedua, terkait aspek sejarah menjadi sesuatu yang bisa dielaborasi lebih jauh, khususnya sejarah hubungan Abad ke 13 saat dinasti Jengis Khan dan Kubilai Khan mengirim utusan dalam rangka invasi ke Nusantara.

“Interaksi Nusantara dan dinasti Kubilai Khan yang ketika itu juga menguasai Kazakhstan memunculkan teknologi mesiu yang baru dikenal.” ujarnya.

Ketiga, dari perspektif geopolitik, Khazakhstan mempunyai posisi amat
penting dalam konstelasi dunia. Selain menjadi pintu masuk strategis bagi Rusia di
utara dan dengan China di Selatan yang saat ini muncul sebagai superpower baru
dunia.

“Kazakhstan juga menjadi kawasan strategis penting bagi Indonesia terkait
potensi ekonomi pasar non tradisional dan energy security terutama Sumber daya
gas alam yang dimiliki Kazakhstan.” papar Shiskha Prabawaningtyas.

“Begitupula dengan latarbelakang Islam Sunni di Kazakhstan yang sama
dengan mazhab mayoritas Islam di Indonesia yang dapat dijadikan pintu masuk
kerjasama.” pungkasnya.

Herdi Sahrasad menyebutkan bahwa abad 21 adalah abad agama-agama, dan pecahnya Uni Soviet / negara-negara Eropa Timur menjadi penanda bahwa watak spiritual agama menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan peradaban.

“Sekarang saatnya untuk kembali menjalin hubungan-hubungan lama dengan negara Asia Tengah. Namun masih terkendala hambatan Bahasa dan budaya. Hal itu yang menyebabkan hubungan people to people relationship antara masyarakat Indonesia dengan Asia Tengah belum bisa optimal.” tutur Herdi.

Indonesia, menurut Herdi Sahrasad, punya social capital dan kekayaan destinasi wisata sebagai negara kepulauan yang bisa dijadikan titik tolak kerjasama ekonomi dan budaya, terutama kesamaan mazhab Syafii-Sunni dengan Kazakhstan.

“Peran agama menjadi begitu penting saat ini dalam membangun kerjasama budaya dan perdamaian dunia, dan kerjasama dialog peradaban, hal yang menjadi kekuatan utama dalam membangun kerjasama dengan negara-negara Asia Tengah.” tutur Herdi.

Soft power yang dimiliki Indonesia dalam bidang agama, budaya dan
bahasa, menurut Herdi, dapat dimanfaatkan untuk kerjasama-kerjasama yang lebih luas. “Ini bisa menjadi modal Indonesia untuk menjalankan kerjasama dan diplomasinya.” ungkapnya.

Duta Besar RI Untuk Kazakhstan, Rahmat Pramono menyebut pemahaman dan kerjasama Indonesia dengan negara-negara Asia Tengah masih kurang, padahal kawasan tersebut mempunyai potensi ekonomi, budaya dan kerjasama pendidikan yang luarbiasa.

“Sudah saatnya Indonesia melakukan kajian-kajian secara mendalam tentang kawasan Asia Tengah. Khusus Kazakhstan dan Tajikistan, sektor perdagangan, investasi dan pariwisata perlu dijadikan titik tekan utama dalam kerjasama dengan kedua negara tersebut.” Rahmat Pramono menerangkan.

Seperti diketahui bersama, Kazakhstan adalah negara terbesar ke 9 di dunia, dengan luas daratan 2,6 juta Km2, dan mempunyai ekonomi yang paling maju ketimbang negara-negara lain di Asia Tengah.

Tren perdagangan Indonesia – Kazakhstan sebelum pandemi meningkat
pesat. Perdagangan dari segi logistik cukup maju, namun pintu masuk ke
Kazakhstan dari Indonesia melalui pelabuhan khusus China yang berbatasan
dengan Kazakhstan di pelabuhan Lianyungang karena lebih efisien.

“Ada kelemahan di Kazakhstan yakni sistem perbankan yang belum terbuka dan
seringkali menjadi tantangan bagi Indonesia. Sehingga pembayaran kadang harus
melalui negara ketiga.” paparnya.

Akademisi UPN Veteran Jakarta yang juga pemerhati masalah Internasional, Bambang Susanto menyebutkan bahwa tujuh negara di Asia Tengah, secara umum mempunyai postur politik tersendiri terkait stabilitas kawasan yang sarat ketegangan politik, terutama masalah terorisme. Ini mengemuka karena berbatasan langsung dengan titik api konflik seperti Afghanistan.

Menurut Bambang, Negara-negara Asia Tengah merupakan aset khusus bagi Rusia, yang menjadi bufferzone sebagai negara-negara eks Uni Soviet yang berhadapan
langsung dengan garis perbatasan China dan Iran di Selatan.

Secara geostrategic ekonomi, dengan kekayaan alam yang dimiliki terutama gas, uranium dan bahan tambang lain, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan dan Kazakhstan tak pelak mempunyai nilai strategis penting bagi kestabilan kawasan. Terutama dalam hubungan perdagangannya dengan China dan Rusia.

“Terlebih China dengan konsep One Belt One Road yang tengah mencoba menguasai negara-negara Asia Tengah.” pungkasnya.