Zaman Bung Karno Antri Minyak Tanah, Zaman Jokowi Antri Minyak Goreng

Apa mungkin siklus sejarah sedang berputar setelah 77 tahun Indonesia menggenggam kemerdekaannya? Jika dulu ada fenomena warga mengantri untuk mendapat minyak tanah, kini orang berbaris panjang dan berdesakan guna meraih minyak goreng murah.

Ini, terjadi di dua masa kepemimpinan yakni, zaman Presiden Soekarno dan era Presiden Jokowi.

Dulu, di masa demokrasi terpimpin Pemerintahan Presiden Soekarno, setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia ada di masa buruk dalam hal perekonomian. Kegagalan ekonomi, ditutupi isyu politik yaitu, perebutan Irian Barat dan Ganyang Malaysia.

Pada 1963, tanah air memasuki masa sulit berupa kebutuhan makan-minum dan sehari-hari lainnya naik dua kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Jika dibanding tahun 1950-a, kenaikannya sampai sepuluh kali lipat.

Waktu itu, beras ada di posisi langka dan Pemerintah mendatangkannya dari Republik Rakyat Tiongkok dengan kualitas amat amburadul. Namun, masyarakat harus tetap mengantri panjang sekali demi mendapatkannya. Begitu pun untuk komoditas lain seperti gula, terigu, dan minyak tanah.

“Aku pernah antre untuk membeli minyak tanah dan setelah tiga hari berturut-turut baru dapat. Tanpa minyak tanah, komporku takkan bisa menyala. Sedangkan minyak yang disediakan negara sangat terbatas,” tulis Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terbitan tahun 2001 halaman 370.

Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 Mitos dan Dilema yang terbit tahun 2006 menyebutkan, di tahun 1963, di seluruh Indonesia, begitu pula di Bandung, untuk memperoleh minyak tanah tiga-empat liter saja, masyarakat harus antri di RT-RT sambil membawa kartu keluarga.

Kondisi ini, terus berlanjut hingga 1964, 1965, dan 1966, di tahun-tahun terakhir Pemerintahan Soekarno sebagai Presiden.

Meski gaji para pegawai negeri, pekerja lainnya bahkan buruh naik tiga kali lipat, sungguh tak berarti karena harga barang naik sampai 10 kali lipat. Saat itu, inflasi tengah melanda republik ini dengan hebatnya.

Dan kemerdekaan, tak dibarengi dengan ketersediaan pangan yang diusahakan dari pertanian di dalam negeri.

Beberapa puluh tahun kemudian, yakni pada 1997, di masa Pemerintahan Soeharto, kondisi itu terulang lagi. Kelangkaan bahan pokok untuk makanan sehari-hari kembali terjadi.

Beras, minyak goreng, dan lain sebagainya yang kemudian diistilahkan sebagai Sembako (sembilan bahan pokok), hilang dan melambung tinggi harganya di pasaran.

Kemudian, pada 1998, Presiden Soeharto, mengalami nasib serupa dengan Presiden Soekarno, yang harus lengser dari kursi kepemimpinannya lantaran salah satu sebab utama yakni, permasalahan ekonomi.

Belakangan, seperti saat krisis ekonomi menghantam Indonesia dengan dahsyatnya pada 1998, minyak goreng yang termasuk dalam sembako, membikin rakyat kudu antri dan berdesakkan untuk mendapatkannya.

Situasi ini, mirip dengan kondisi setelah empat tahun Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Bedanya kali ini, kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng terjadi setelah tiga tahun Presiden Jokowi menyatakan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Apakah Presiden Jokowi akan mengalami nasib serupa dengan Presiden Soekarno? Entahlah. {jernih}