News  

Akhir Tragis Sukarno dan Soeharto Yang Menjabat Presiden Lebih Dari 2 Periode

Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden dari PKB, PAN, Golkar, hingga Jokpro dan PSI dikritik banyak pihak. Mulai dari kalangan akademisi, pengamat, pakar hukum, tokoh parpol hingga DPR mengingatkan presiden yang terlalu lama menjabat di Indonesia selalu berakhir tragis.

“Kekuasan itu cenderung menggoda, tapi seberapa besar kita tidak ulangi hal-hal di masa lalu. Bangsa ini ke depannya harus lebih fokus dan penuh kepastian,” kata Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun kepada kumparan, Jumat (25/2).

Terdapat dua presiden Indonesia yang menjabat lebih dari 10 tahun di Indonesia. Mereka yakni Presiden RI ke-1 dan Presiden RI ke-2 Soeharto.

Sukarno, sebagai Proklamator RI, dicintai masyarakat Indonesia karena jasa dan pemikirannya dalam membangun awal ketatanegaraan Indonesia. Sementara mendapat apresiasi karena kiprahnya dalam mengembangkan infrastruktur dan ekonomi.

Namun, keduanya sama-sama berakhir tragis usai lama memimpin Indonesia. Berikut kilas balik akhir kepimpinan Sukarno dan Soeharto dirangkum kumparan, Selasa (16/3):

Sukarno

Usai mensukseskan kemerdekaan, Sukarno menjabat sebagai Presiden pertama RI pada 18 Agustus 1945 hingga 12 Maret 1967. Sukarno dikenal cukup berhasil memimpin Indonesia dengan berbagai gagasan kenegaraannya bahkan di dunia internasional.

Di satu sisi, Sukarno juga pernah mengalami sejumlah percobaan pembunuhan selama menjabat. Mulai dari pelemparan granat di Cikini pada 1957, penembakan Istana Presiden hingga penembakan mortir Kahar Muzakar pada 1960.

Sementara itu, situasi politik Indonesia berubah tidak menentu setelah 6 jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.

Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.

Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.

Tetapi, Sukarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan nasionalisme, agama, komunisme (Nasakom). Sikap penolakan Sukarno berimbas melemahkan posisinya dalam politik.

Lima bulan kemudian, terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Sukarno.

Berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat, surat ini berisi perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.

Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.

Menyusul hal ini, MPRS mengeluarkan dua ketetapan, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966.

Ketetapan ini memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.

Sukarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS berjudul “Nawaksara” dan dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.

Pidato “Pelengkap Nawaskara” disampaikan oleh Sukarno pada 10 Januari 1967, namun ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.

Hal ini berujung pada 20 Februari 1967 ketika Sukarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.

Setelah melakukan Sidang Istimewa, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi, dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Sebanyak 39 dokumen rahasia milik Amerika Serikat terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965 dibuka kepada publik pada Oktober 2017.

Dari dokumen-dokumen itu terungkap sejumlah pengetahuan, di antaranya rencana kudeta terhadap Sukarno, kekejaman pembantaian terhadap orang-orang yang terhubung maupun terduga Partai Komunis Indonesia, perintah pembunuhan massal oleh Soeharto, dan keterlibatan Amerika Serikat.

Semua itu menguatkan banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bukti-bukti kuat pengetahuan tentang tragedi 52 tahun lalu tersebut. Termasuk tentang dugaan adanya peran aktif AS dalam kudeta dan pembunuhan massal.

Soeharto

Soeharto menggantikan Sukarno mulai 12 Maret 1967-21 Mei 1998. Selama hampir 32 tahun pemerintahan Soeharto, Repelita menjadi fondasi pembangunan di Indonesia.

Dalam masa kekuasaannya yang disebut Orde Baru, Soeharto dinilai cukup sukses membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi serta infrastruktur. Di era ini harga bahan-bahan pokok seringkali terjangkau, situasi keamanan dan ketertiban terjaga, juga tercapainya Swasembada Beras.

Soeharto pun pernah dianugrahi medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1984.

Di sisi lain, Soeharto menuai kontroversi karena membatasi kebebasan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur hingga melakukan pemaksaan asas tunggal Pancasila di berbagai bidang. Pemerintahan Soeharto juga dinilai banyak pihak sebagai salah satu rezim paling korup dalam sejarah dunia modern.

Pada 1997, Bank Dunia mencatat bahwa 20-30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pun terjadi pada tahun yang sama, sehinga Soeharto terdesak untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

Di tengah krisis, Soeharto mendapatkan dorongan sejumlah pihak untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Soeharto akhirnya terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998.

Padahal, ia sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai presiden pada 1998–2003, terutama pada acara Golongan Karya.

Tak lama usai Soeharto dilantik, demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer terjadi hingga berpuncak pada pendudukan gedung DPR dan MPR RI.

Ketua DPR saat itu sekaligus eks menteri setia Soeharto, Harmoko, juga menjadi salah satu sosok yang mendesak Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.

Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan lalu dilanjutkan oleh Wakil Presiden RI saat itu, B.J. Habibie.

“Pengalaman saya 1998, waktu itu sebelum Pemilu 1998, Pak Harto minta saran, ‘Apakah saya masih layak maju lagi dalam pemilu yang akan datang?’. Hampir semua tokoh politik dan ketua partai menyatakan, ‘Bapak masih sangat dibutuhkan rakyat’,

‘Bapak adalah bapak pembangunan yang harus membawa Indonesia lebih maju’, ‘Kalau bukan Bapak, mau siapa lagi?’,” cerita politikus PDIP sekaligus eks ajudan Wakil Presiden Tri Sutrisno, TB Hasanuddin, kepada kumparan, Minggu (27/2).

“‘Kami semua atas nama rakyat meminta agar Bapak meneruskan kepemimpinan Bapak, ini permintaan dari rakyat’. Setelah pemilu ‘jujur dan adil’ dilaksanakan, Pak Harto menang lagi sebagai presiden dan kemudian dilantik pada tanggal 11 Maret 1998. Namun, apa kenyataannya?” terang dia.

TB Hasanuddin mengungkapkan tak butuh waktu lama bagi para politisi untuk pindah haluan. Pada pertengahan Mei atau hanya 60 hari sejak Soeharto menjabat kembali di 1998, para tokoh politik dengan enteng meminta Soeharto lengser sesuai keinginan rakyat.

Ia menyebut mulai dari Akbar Tanjung, Ginandjar Kartasasmita, Tanri Abeng, dan sejumlah nama lainnya menandatangani surat tertanggal 20 Mei 1998 yang ditujukan untuk memecat Soeharto.

Sebab itu di masa kini, TB Hasanuddin meminta semua pihak waspada. Ia khawatir bahwa usul penundaan Pemilu 2024 saat ini adalah bibit skenario yang sama pada saat lengsernya Soeharto.

“Waspada dengan jebakan maut para politisi. Saya memiliki kekhawatiran apakah drama ini akan terjadi lagi di 2024? Mudah-mudahan saja tidak.

Tapi apakah sejarah akan berulang? “Wallahuallam bisawab,” tutur TB Hasanuddin. {kumparan}