Misbakhun Ingin Indonesia Segera Punya UU Profesi Penilai

Misbakhun Ingin Indonesia Segera Punya UU Profesi Penilai Radar Aktual

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun terus mendorong adanya payung hukum bagi profesi penilai. Menurutnya, Rancangan Undang-undang (RUU) Profesi Penilai sangat penting bagi upaya penyelamatan aset negara dan sektor keuangan lain.

Misbakhun mengatakan, RUU Profesi Penilai akan mengoptimalkan pemasukan negara dari sektor pajak. Bahkan, pemerintah daerah pun akan ikut memperoleh manfaat dengan keberadaan penilai.

Sebagai contoh adalah keberadaan profesi penilai terkait pajak bumi dan bangunan (PBB) ataupun bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). “Khususnya dari PBB dan BPHTB melalui pemberian NJOP (nilai jual objek pajak, red) yang benar,” ujar Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur itu di Jakarta, Selasa (13/11/2018)

Misbakhun sebelumnya menyuarakan hal serupa saat menjadi pembicara pada simposium nasional bertema ‘Urgensi Undang Undang Penilai dalam Akselerasi Pembangunan untuk Kemaslahatan Negeri’ di Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/11/2018).

Dalam acara yang digelar Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) itu Misbakhun menegaskan komitmennya untuk mendorong pembahasan RUU tersebut.

Menurut Misbakhun, ada hal lain yang ditawarkan RUU Profesi Penilai jika kelak diberlakukan. Yakni jaminan atas informasi dan data transaksi jual beli properti yang benar.

“Tumbuhnya kepastian harga transaksi tanah sebenarnya tanpa mengaitkan kepada NJOP, sehingga meminimalisasi efek mafia tanah dan para spekulan dalam memanfaatkan situasi pengadaan tanah atau transaksi pada umumnya,” paparnya.

Misbakhun menjelaskan, profesi penilai juga sangat penting bagi sektor perbankan. Penilai akan memberikan kepastian atas potensi risiko kredit melalui nilai agunan yang dapat dipercaya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan itu menegaskan, jika ada penilaian seimbang dan benar antara agunan dengan kredit maka potensi terjadinya kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) juga bisa ditekan.

“Jika ada penilaian seimbang dan benar maka NPL, asset disposal, nilai aset dan recovery rate akan sehat, perbankan ikut sehat pula,” tuturnya. Misbakhun memberikan contoh penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp 5 triliun pada 2002. Padahal kewajiban BCA sebesar Rp 60 triliun.

“Saat itu recovery rate 12 persen dan keuntungan Rp 20 triliun per tahun. Aset diambil negara, ini beban rakyat, siapa yang menikmati?” tuturnya.

Karena itu Misbakhun menegaskan, UU Profesi Penilai layak disegerakan. Legislator Golkar itu juga mendorong MAPPI sebagai lembaga yang menaungi profesi penilai segera membuka keran komunikasi politik dengan fraksi-fraksi di DPR RI.

“Para penilai dan lembaga penilai serta tersedianya data pasar yang valid dan benar. UU ini akan memberi perlindungan hukum atas hasil penilaian yang akan digunakan masyarakat,” tuturnya.