News  

Siap-Siap! Badai Matahari Bakal Hantam Bumi, Ini Penjelasan BRIN Soal Dampak ke Indonesia

Dalam beberapa tahun ke depan, badai Matahari bakal menghantam Bumi. Hal itu secara tidak langsung bisa memengaruhi aktivitas manusia di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Tapi menurut Johan Muhammad, Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia berisiko rendah terdampak badai Matahari.

Di Indonesia sendiri, dampak (aktivitas Matahari) yang didapat tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa,”

Johan menjelaskan, aktivitas matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi.

Pada gilirannya ini menyebabkan sinyal gelombang elektromagnetik yang dimanfaatkan manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi terganggu saat terjadi badai Matahari ekstrem.

Di samping itu, Matahari sebagai sumber energi utama di tata surya punya pengaruh terhadap cuaca antariksa.

Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi. Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa di antaranya flare, lontaran massa korona dan angin surya.

Cuaca antariksa bakal banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.

Di Indonesia sendiri, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari bisa mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi aktivitas penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti Global Positioning System (GPS).

Lebih lanjut Johan bilang, karena semakin tingginya ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa, juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung.

Cuaca antariksa merupakan keadaan lingkungan antariksa, khususnya antara Matahari dan Bumi yang meliputi kondisi Matahari, medium antarplanet, atmosfer atas Bumi (ionosfer), dan selubung magnet Bumi (magnetosfer).

“Seperti halnya cuaca di Bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas Matahari,” kata Johan sebagaimana dikutip Antara.

Jangan percaya hoaks
Johan juga menegaskan, tidak ada istilah kiamat badai Matahari di kalangan para ahli. Sebab, sejatinya manusia telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari ini rutin terjadi. Yang perlu dipahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya.

Johan mengimbau agar masyarakat tidak perlu panik dan tidak mudah termakan hoaks yang beredar berkaitan dengan badai Matahari. Matahari sendiri punya siklus sekitar 11 tahun sekali.

Saat ini, sedang berada di awal siklus ke-25 yang diperkirakan mencapai puncaknya pada 2024-2025.

Pada saat puncaknya, aktivitas Matahari diperkirakan akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona kemungkinan bertambah.(Sumber)