News  

Beragama Harus Radikal?

Beragama Harus Radikal?

Mula-mulanya Tuhan memberi agama secara percuma kepada manusia. Agar dengan agama itu orang hidup dalam keteraturan dan keadaban. Dengan agama itu, Tuhan tak hendak tukar tambah. Agar mengambil faedah pengakuan. Penghambaan.

Tuhan tak butuh agama. Manusialah yang butuh agama untuk peradabannya. Spiritualitasnya. Lalu agama ditafsir, dipahami, hingga dikerangkeng dalam begalisme politik.

Mereka membegal makna, lalu menjebloskannya dalam pemahaman trans-nasional–menjadi ekstrimis, fundamentalis dan radikalis. Entah kapan dan bagaimana term-term itu ada? Idiom-idiom ini mulai lekat dengan Islam. Sejak kapan? Apakah jika term-term ini ditelisik, punya sejarahnya?

Setiap agama doyan radikal. Karena ingin dipahami hingga ke akar-akarnya (radikal). Justru agama yang tak radikal, menjadi agama yang gagal. Menjadi tuna-understanding, karena pemahaman terhadapnya tak mendalam (deepening).

Semua penganut agama juga berpeluang jadi fundamentalis. Karena ia harus memahami agama hingga ke dasarnya (fundamen). Kalaupun seseorang penganut agama menjadi fundamentalis apa soal?

Toh ini cuma pasal gerakan keagamaan yang merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci. Bukankah semua penganut agama, ingin kembali pada otentisitas ajarannya?

Justru kelompok terror, adalah mereka yang gagal menjadi fundamentalis. Mereka gagal menjadi radikalis. karena cinta dan kasih sayang pada sesama makluk Tuhan, adalah fundamentalisasi dari inti doktrin keagamaan sebagai mana citra Allah dalam keutamaan sifat-Nya yang pengasih dan penyayang.

Coba perhatikan baik-baik. Setiap wahyu diturunkan (dalam Islam) misalnya, selalu didahului peristiwa kemanusiaan. jadi konteks (kemanusiaan) menjadi triggers dari proses pewahyuan.

Karena kronologi proses pewahyuan dalam Islam, itu sifatnya context precedes the text. Dimana wahyu diturunkan karena adanya suatu peristiwa faktual yang mendahuluinya.

Jadi, wahyu tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diturunkan dalam berlapis-lapis peristiwa kemanusiaan. Oleh karena itu, inti doktrin keislaman, memiliki titik determinasi pada rahmatan lilalamin. Bahkan terminologi rehmatanlilalamin ini lebih tinggi dan luas dari teori humanisme modern macam apapapun.

Itu karena humanisme, bicara soal lintas manusia. Sementara rahmatanlilalamin bicara tentang kosmos. Bahwa rahmatan lilalamin sebagai suatu makro kosmos, yang meliputi seluruh makhluk Tuhan di alam jagat. Disinilah starting point dari beragama (berislam). Menjadi terminal utama dari otentisitas keislaman.

Lalu apa urusannya dengan stigma radikal yang secara tergesa-gesa dibilang radikalisme? Demikianpun pemahaman terhadap fundamen keagamaan yang secara cepat-cepat dikemas menjadi fundamentalisme.

Saya bahkan percaya, bahwa istilah-istilah ini tak bebas politik. Kalau adanya teror kekerasan iya. Tapi orang tak boleh menjadi radikalis atau fundamentalis dalam mendalami otentisitas agamanya, apa urusan?

Abdul Hafid Baso, Fungsionaris Partai Golkar & Ketua PP AMPG